CISAH Sebut Meurah Silu bukan Sultan Al-Malik Ash-Shalih, Pada Kuliah Umum Di FISIP UNIMAL

 

Indonesia Investigasi 

 

LHOKSEUMAWE – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Malikussaleh bekerja sama dengan Center for Information of Sumatra Pasai Heritage (CISAH) menggelar Kuliah Umum bertajuk “Reviving the Spirit of Sumatra Pasai: Governance, Heritage, and the Future of Local Wisdom” atau “Dari Warisan Menuju Tata Kelola, Membangun Masa Depan dengan Kearifan Sejarah”.

Bacaan Lainnya

 

Kegiatan ini menghadirkan Sukarna Putra, peneliti dari CISAH yang juga dikenal sebagai penggiat sejarah dan kurator Museum Islam Samudra Pasai.

 

Dalam sambutannya, Dr. Teuku Zulkarnain, S.E., M.M., Ph.D., Dekan FISIP Universitas Malikussaleh menekankan pentingnya menggali nilai-nilai tata kelola yang telah lama hidup dalam peradaban Islam Samudra Pasai, sebagai salah satu kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara. “Semangat Samudra Pasai bukan hanya sejarah, tetapi warisan nilai yang dapat dijadikan dasar dalam membangun tata kelola pemerintahan yang berperadaban,” ujarnya.

 

Sukarna Putra yang menjadi pemateri tunggal menyoroti perlunya generasi muda memahami sejarah lokal sebagai bagian dari identitas dan arah pembangunan masa depan. “Kearifan sejarah adalah fondasi untuk memahami diri dan membangun masa depan yang berakar pada nilai-nilai Islam” ungkapnya.

 

Sungguh sangat miris, kurun se-abad terakhir telah berkembang literasi yang sengaja dibuat untuk menjatuhkan marwah sang sultan, seperti diceritakan oleh Hikayat Raja-raja Pasai atau Kronika Pasai :

 

Malikussaleh adalah Meurah Silu. Ayahnya adalah anak angkat Raja Ahmad, penguasa negeri di balik rimba, sehari perjalanan dari Samarlanga (?). Raja Ahmad menemukan putera angkatnya itu diasuh dan hidup dalam kawanan gajah sehingga diberi nama dengan Meurah Gajah. Ibunya adalah anak angkat Raja Muhammad, penguasa Samalanga (?). Puteri berparas cantik itu ditemukan oleh Raja Muhammad dari dalam semak-semak rumpun bambu, sehingga dinamakan dengan Puteri Betung.

 

Setelah ayah-ibu serta kakek-kakeknya dari kedua belah pihak tewas dalam suatu tragedi berdarah, Meurah Silu dan saudaranya, Meurah Hasum, pindah ke negeri Biruan. Masa muda Meurah Silu dihabiskan untuk menjinakkan kerbau liar dan menyambung ayam. Ia juga pernah mau makan cacing karena dalam bubunya hanya masuk cacing- cacing. Setelah dimasak cacing-cacing itu ternyata berubah menjadi emas dan buihnya menjadi perak!

 

Jagoan sambung ayam yang kononnya dermawan itu kemudian diangkat menjadi raja. Ia memerangi dan terus membuntuti Meugat Nazar karena tidak setuju merajakannya. Setelah Meugat Nazar dikalahkan, Meurah Silu membuka sebuah negeri yang diberinama dengan Samudera, artinya semut besar, sebab ketika itu ia melihat seekor semut sebesar kuncing lalu ditangkap dan dimakannya!

 

Suatu ketika, setelah ia menjadi raja berkuasa di Samudera, seorang dari Makkah bernama Syaikh Ismail datang ke Samudera hendak mengislamkan penguasa negeri bawah angin dan rakyatnya. Tapi Syaikh ini menemukan Meurah Silu sudah dapat melafalkan syahadat dan membaca Al-Qur’an lantaran sebelumnya ia sudah bermimpi Nabi [saw.] meludahi ke dalam mulutnya, rasanya lemak manis! Dan kemudian ia bergelar atau berganti nama menjadi Malikussaleh.

Atas petunjuk ahli nujum, Malikussaleh memilih Puteri Ganggang Sari, puteri Raja Peurlak dari gundiknya, untuk menjadi permaisuri. Dari perkawinan itu, ia diberkahi seorang putera yang diberi nama Malikul-Zahir. Kepada puteranya ini, Malikussaleh menyerahkan negeri Pasai yang baru saja dibukanya. Yakni sebuah negeri yang dibuka karena di tempat tinggi itu anjingnya yang bernama Pasai berpeluk-pelukan dengan seekor pelanduk berani. Dan lantaran si Pasai kesayangannya mati di tempat itu, ia pun menamakan negeri tersebut dengan Pasai!

 

Setelah Malikussaleh meninggal dunia, cucu-cucu keturunannya dilanda berbagai tragedi disebabkan nafsu angkara murka sampai dengan nata Majapahit menguasai Pasai, dan pemerintah terakhir Pasai, Raja Ahmad, lari ke negeri Menduga (?).

 

Cerita yang mengagumkan bukan?!

 

Itulah Malikussaleh yang namanya hari ini banyak diabadikan untuk nama-nama lembaga pendidikan atau lainnya. Itulah riwayat Malikussaleh yang dituturkan kepada masyarakat Aceh dan luar Aceh selama lebih setengah abad yang lalu dalam bentuk hikayat atau legenda. Demikian lamanya sudah dituturkan sehingga banyak orang meyakini hikayat itu sebagai sejarah Malikussaleh dan Samudra Pasai-nya, dan itu seolah tidak bisa diganggu gugat lagi! Malah, ada sebagian guru yang mendampingi murid-murid mereka berkunjung ke situs-situs sejarah di Samudra Pasai meminta “tukang cerita” supaya tidak mengubah “sejarah” Samudra Pasai ke versi lain. Guru-guru itu mungkin ingin menumbuhkembangkan daya imajinasi murid-murid supaya kelak dapat menyutradai sinetron-sinetron konyol atau merancang iklan-iklan yang sama konyolnya,

 

Padahal, siapa pun dapat menambah, mengurang, berinovasi atas nama hikayat atau legenda ini. Sebab, Hikayat Raja- raja Pasai atau Kronika Pasai yang ringkasan isinya seperti tadi tidak jelas siapa penulisnya, masa penulisan, bukti-bukti kebenaran isinya. Tidak ada. Yang ada hanya kata empunya cerita. Siapa empunya cerita?! Tidak ada yang tahu.

 

Satu-satunya penanggalan yang terdapat dalam manuskrip Hikayat adalah tarikh penyalinan naskah yang konon ditemukan T. S. Raffles di Demak, daerah Bogor, milik Bupati Sepuh, Kiai Suradimenggala. Manuskrip tersebut hanya satu-satunya yang ada di dunia ini, dan tersimpan di Royal Asiatic Society, London, sejak 1839.

 

Bukannya Hikayat ini tidak menyimpan kebenaran sama sekali tapi hal itu sangat perlu untuk diuji, disaring dengan saringan yang halus. Bahan-bahan ilmiah lain yang lebih akurat dan autentik dibutuhkan sebagai bandingan untuk menemukan kebenaran.

 

Secara umum, bagi seorang yang telah pernah mendalami sejarah kebudayaan Islam serta mengenal karateristik yang membedakannya dengan berbagai sejarah lain, dapat langsung mengetahui bahwa hikayat Raja-raja Pasai bukanlah sejarah Islam dalam arti sesungguhnya. Malah bisa dikatakan, telah ditulis oleh tangan yang sebenarnya tidak begitu memahami Islam. Misal saja, hadits palsu (maudhu’) yang dicantumkan dalam pembukaan bab II Hikayat: kata Nabi, “Bahwa ada sepeninggalku itu ada sebuah negeri di bawah angin Samudera namanya. “Apabila ada didengar kabar negeri itu maka kami suruh kamu sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa ia orang dalam negeri masuk dalam agama Islam serta mengucapkan dua kalimat syahadat…”

 

Bagi kaum imperialisme Barat, beredar dan populernya cerita-cerita (pseudo-sejarah) semacam ini di kalangan masyarakat Islam suatu hal yang sebenarnya sangat menguntungkan mereka. Cerita-cerita itu tidak akan pernah mengilhami masyarakat Islam untuk melawan penjajahan. Wajar bila suatu ketika di masa hidupnya, Almarhum Professor A. Hasjmy berang. “Sejarah yang disusun penjajah racun bagi kita!” tukasnya dalam sebuah tulisan.

 

Tidak tanggung-tanggung, Hasjmy mengklaim bahwa isi hikayat seperti di atas, yang kemudian dinamakan dengan sejarah Islam, itu telah ditulis oleh kaki tangan kaum penjajah dengan maksud menjatuhkan martabat Malikussaleh di mata pemuda-pemudi bangsa. “Padahal beliau,” terangnya lagi, “adalah mujahid dan pahlawan yang terbesar pada zamannya.

 

Kini, generasi baru yang berhadapan dengan tantangan-tantangan baru dunia, memerlukan sejarah yang lebih inspiratif untuk bertahan dalam badai globalisasi yang memusnahkan jati diri yang sebenarnya lebih luhur dan manusiawi. Sudah waktunya, dengan demikian, untuk menggali kembali keaslian sejarah yang terkubur dalam lapisan zaman agar tidak terputus dengan akar di masa lalu dan tahu dari mana harus menyambung peran.

 

Memahat Keagungan

 

Nisan Al-Malik Ash-Shâlih atau Al-Malikush-shâlih—demikian pengucapan yang benar dan diterima dalam cita rasa Muslim—dari sisi struktur materilnya: bahan baku, ornamen, relief, kaligrafi dan pilihan ayat-ayat Al-Qur’an yang diukir, memiliki kecenderungan cita rasa seni Islam di era kesultanan Aceh Darussalam. Yakni, seni yang secara kontras memunculkan suatu assimilasi budaya masyarakat pra-Islam di utara Sumatera dengan nilai-nilai Islam yang universal.

Dari sini terbuka kemungkinan, nisan Al-Malik Ash-Shâlih yang terdapat di gampong Beuringen, Samudera, Aceh Utara, hari ini adalah pengganti nisan asli. Penggantian itu barangkali dilakukan dalam masa awal era Aceh Darussalam di abad ke-16 M. Hal ini juga didukung oleh satu kenyataan paleografi yang menunjukkan bahwa ketika dilakukan pemahatan ulang inskripsi yang mengungkapkan tentang pemilik makam (Al-Malik Ash-Shâlih), pemahat melakukan dua kekeliruan, yang mungkin untuk waktu itu, dianggap bisa dimaafkan.

 

Pada pemahatan kalimat Al-Mulaqqab Sulthân Malik Ash-Shâlih (yang digelar Sultan Malik Ash-Shâlih) terdapat satu kekeliruan menyalahi kaidah bahasa Arab: kata malik ditulis tanpa diawali alif-lâm yang seharusnya ada seperti terdapat pada inskripsi nisan-nisan Muhammad Al-Malik Azh-Zhâhir, Nahrâsyiyah dan Zain Al-’Âbidin Râ Ababdâr untuk kata yang sama: Al-Malik Ash-Shâlih. Namun, kekeliruan ini justeru menjadi salah tanda bahwa batu itu telah dipahat pada masa kemudian sebab cara penulisan yang menghilangkan alif-lam pada suku kata pertama itu merupakan bentuk penulisan yang dipengaruhi tradisi Persia di mana dalam naungannya bahasa Jawiy pertama sekali ditumbuhkan dan semakin banyak menyerap kaidah-kaidah bahasa Persia yang beraksara Arab dalam masa-masa penghujung abad ke-15 M.

 

Kekeliruan kedua, kalimat: Allâdzî intaqala min Ramadhân (yang berpindah [ke rahmatullah] dari bulan Ramadhan), di antara kata intaqala dan min seharusnya terdapat huruf jar (fî) dan kata bilangan tanggal wafat, misalnya: Allâdzî intaqala [fî-s-sâbi’ ‘asyar] min Ramadhân. Yang terakhir ini dapat menandakan bahwa pemahat meniru kembali kalimat-kalimat inskripsi nisan Al-Malik Ash-Shâlih yang asli, namun barangkali karena kaligrafi dan bahan batunya berbeda dengan yang asli, pemahat jadi terjebak dalam kekeliruan tersebut.

 

Walau bagaimanapun, adalah suatu hal yang dapat dipastikan bahwa pada masa pemahatan nisan ini, apalagi sebelumnya, Al-Malik Ash-Shâlih adalah sosok sangat dikenal, sejarah hidupnya dikenang dan diteladani, dan semangat yang dikembangkannya menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya. Hal ini seperti terlihat jelas pada kepribadian Sultan ‘Ali ibn Syams ibn Munawwar Al-Makhshûsh bi Mughâyati-Llâh atau lebih dikenal Sultan ‘Ali Mughayat Syah (wafat 936 H/1530 M), yang merupakan pelopor kebangkitan Aceh Darussalam dan kaum Muslimin di Asia Tenggara. Catatan pada nisannya di komplek Kandang XII, Banda Aceh, menunjukkan bahwa ia juga sosok yang punya kemiripan besar dengan Al-Malik Ash-Shâlih.

 

Sang Pemanggul Da’wah Islam

 

Banyak orang mengenal Samudra Pasai sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Nusantara. Namun, asumsi ini pada hakikatnya tidak sepadan dengan bobot Hikayat Raja-raja Pasai. Proses Islamisasi yang diceritakan dalam Hikayat sangat minim baik dari sisi ruang gerak maupun peran pelakunya. Ketika Syaikh Ismail dari Arab sampai ke negeri di bawah angin dan menjumpai Meurah Silu, yang terakhir ini sudah dapat mengucap dua kalimat syahadat, lalu orang-orang pun dikumpulkan dan dimasukkan dalam Islam. Selesai!

 

Meurah Silu yang sesudah memeluk Islam berganti nama menjadi Malikussaleh, juga tidak tampak sebagai sosok pengemban da’wah Islam dalam Hikayat tersebut. Perhatiannya lebih tertarik kepada orang Keling yang mampu melihat asap emas dari kejauhan. Emas lebih memikatnya. Ini pantas saja, sebab bagaimana seorang yang masa mudanya suka menyabung ayam, mengalahkan lawan untuk kepentingan pribadi, dan memiliki daya pikir yang sangat rendah seperti menamakan negeri dengan nama anjingnya, dan melahap semut besar lalu menamakan negerinya dengan semut besar seolah menginginkan agar perbuatannya yang menjijikkan itu dikenang oleh ramai orang! Bagaimana seorang aneh seperti ini dapat menjadi sultan pengemban beban da’wah Islam yang begitu berat dan membutuhkan sebuah kepribadian dengan komposisi khusus?!

 

Itukah kisah dari seorang yang bergelar Al-Malik Ash-Shâlih (raja yang shalih)?! Bukankah sosok yang diceritakan Hikayat itu akan langsung mengingatkan kita kepada Ken Arok, pendiri Singosari yang berasal dari orang kebanyakan dan tidak diketahui asal-usulnya?!

 

Ada sesuatu yang bergerak tidak wajar di lapisan bawah teks Hikayat ini. Apakah karena Islam mengandung perkara-perkara ghaib lantas dengan serta merta pelbagai takhayul dan mistik dapat dibenarkan, diterima dan dikembangkan dengan begitu mudah?! Sesuatu yang sebenarnya sudah mesti disadari bahwa Islam telah meletakkan dasar-dasar keyakinan yang sederhana dan gampang dicerna akal logis, dan tidak sesemeraut dan serumit kisah-kisah mistis.

 

Lalu, bagaimanakah sosok Al-Malik Ash-Shâlih?

 

Sebaik mana kita mengenal Al-Malik Ash-Shâlih sesungguhnya, niscaya kita pun yakin bagaimana suatu pendaman kedengkian telah dilepaskan dengan cara teramat halus ke dalam sebuah kronik atau hikayat yang tampak lahirnya seperti menyanjung, namun setelah diukur dengan neraca Islam, maka nyata sangat konyol dan jauh dari pola kepribadian yang dibentuk oleh Islam.

 

Pada makam Al-Malik Ash-Shâlih, seperti telah disebutkan, terdapat inskripsi pada sisi muka nisan sebelah kaki atau selatan, yang teksnya demikian:

 

“Hâdza al-qabrul al-marhûm al-maghfûr at-taqiy an-nâshih al-hasîb an-nasîb al-karîm al-’âbid al-fâtih al-mulaqqab sulthân Malik ash-Shâlih alladzî intaqala min syahr Ramadhân sanata sitt wa tis’îna wa sittumi’ah min intiqal an- nabawiyyah saqa Allâhu tsarâhu wa ja’ala al-jannata matswâhu bi hurmati lâ ilâha illa-Llâhu Muhammad rasulullâh.”

 

(Inilah kubur orang yang dirahmati lagi diampuni, orang yang bertaqwa (takut kepada murka dan azab Allah) lagi pemberi nasehat, orang yang berasal dari keluarga terhormat dan dari silsilah keturunan terkenal lagi pemurah (penyantun), orang yang kuat beribadah (‘abid) lagi pembebas, orang yang digelar [dengan] Sultan [Al-]Mâlik Ash-Shalih, yang berpindah [ke rahmatullah] sejak bulan Ramadhan tahun 696 dari hijrah Nabi [saw.]. Semoga Allah menyiramkan [rahmat-Nya] ke atas pusaranya serta menjadikan syurga tempat kediamannya dengan kehormatan [kalimat] La ilaha illa-Llah Muhammadun Rasulullah (Tiada tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah.)

 

Memahat Keagungan

 

Nisan Al-Malik Ash-Shâlih atau Al-Malikush-shâlih—demikian pengucapan yang benar dan diterima dalam cita rasa Muslim—dari sisi struktur materilnya: bahan baku, ornamen, relief, kaligrafi dan pilihan ayat-ayat Al-Qur’an yang diukir, memiliki kecenderungan cita rasa seni Islam di era kesultanan Aceh Darussalam. Yakni, seni yang secara kontras memunculkan suatu assimilasi budaya masyarakat pra-Islam di utara Sumatera dengan nilai-nilai Islam yang universal.

 

Dari sini terbuka kemungkinan, nisan Al-Malik Ash-Shâlih yang terdapat di gampong Beuringen, Samudera, Aceh Utara, hari ini adalah pengganti nisan asli. Penggantian itu barangkali dilakukan dalam masa awal era Aceh Darussalam di abad ke-16 M. Hal ini juga didukung oleh satu kenyataan paleografi yang menunjukkan bahwa ketika dilakukan pemahatan ulang inskripsi yang mengungkapkan tentang pemilik makam (Al-Malik Ash-Shâlih), pemahat melakukan dua kekeliruan, yang mungkin untuk waktu itu, dianggap bisa dimaafkan.

 

Pada pemahatan kalimat Al-Mulaqqab Sulthân Malik Ash-Shâlih (yang digelar Sultan Malik Ash-Shâlih) terdapat satu kekeliruan menyalahi kaidah bahasa Arab: kata malik ditulis tanpa diawali alif-lâm yang seharusnya ada seperti terdapat pada inskripsi nisan-nisan Muhammad Al-Malik Azh-Zhâhir, Nahrâsyiyah dan Zain Al-’Âbidin Râ Ababdâr untuk kata yang sama: Al-Malik Ash-Shâlih. Namun, kekeliruan ini justeru menjadi salah tanda bahwa batu itu telah dipahat pada masa kemudian sebab cara penulisan yang menghilangkan alif-lam pada suku kata pertama itu merupakan bentuk penulisan yang dipengaruhi tradisi Persia di mana dalam naungannya bahasa Jawiy pertama sekali ditumbuhkan dan semakin banyak menyerap kaidah-kaidah bahasa Persia yang beraksara Arab dalam masa-masa penghujung abad ke-15 M.

 

Kekeliruan kedua, kalimat: Allâdzî intaqala min Ramadhân (yang berpindah [ke rahmatullah] dari bulan Ramadhan), di antara kata intaqala dan min seharusnya terdapat huruf jar (fî) dan kata bilangan tanggal wafat, misalnya: Allâdzî intaqala [fî-s-sâbi’ ‘asyar] min Ramadhân. Yang terakhir ini dapat menandakan bahwa pemahat meniru kembali kalimat-kalimat inskripsi nisan Al-Malik Ash-Shâlih yang asli, namun barangkali karena kaligrafi dan bahan batunya berbeda dengan yang asli, pemahat jadi terjebak dalam kekeliruan tersebut.

 

Walau bagaimanapun, adalah suatu hal yang dapat dipastikan bahwa pada masa pemahatan nisan ini, apalagi sebelumnya, Al-Malik Ash-Shâlih adalah sosok sangat dikenal, sejarah hidupnya dikenang dan diteladani, dan semangat yang dikembangkannya menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya. Hal ini seperti terlihat jelas pada kepribadian Sultan ‘Ali ibn Syams ibn Munawwar Al-Makhshûsh bi Mughâyati-Llâh atau lebih dikenal Sultan ‘Ali Mughayat Syah (wafat 936 H/1530 M), yang merupakan pelopor kebangkitan Aceh Darussalam dan kaum Muslimin di Asia Tenggara. Catatan pada nisannya di komplek Kandang XII, Banda Aceh, menunjukkan bahwa ia juga sosok yang punya kemiripan besar dengan Al-Malik Ash-Shâlih.

 

Sang Pemanggul Da’wah Islam

 

Banyak orang mengenal Samudra Pasai sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Nusantara. Namun, asumsi ini pada hakikatnya tidak sepadan dengan bobot Hikayat Raja-raja Pasai. Proses Islamisasi yang diceritakan dalam Hikayat sangat minim baik dari sisi ruang gerak maupun peran pelakunya. Ketika Syaikh Ismail dari Arab sampai ke negeri di bawah angin dan menjumpai Meurah Silu, yang terakhir ini sudah dapat mengucap dua kalimat syahadat, lalu orang-orang pun dikumpulkan dan dimasukkan dalam Islam. Selesai!

 

Meurah Silu yang sesudah memeluk Islam berganti nama menjadi Malikussaleh, juga tidak tampak sebagai sosok pengemban da’wah Islam dalam Hikayat tersebut. Perhatiannya lebih tertarik kepada orang Keling yang mampu melihat asap emas dari kejauhan. Emas lebih memikatnya. Ini pantas saja, sebab bagaimana seorang yang masa mudanya suka menyabung ayam, mengalahkan lawan untuk kepentingan pribadi, dan memiliki daya pikir yang sangat rendah seperti menamakan negeri dengan nama anjingnya, dan melahap semut besar lalu menamakan negerinya dengan semut besar seolah menginginkan agar perbuatannya yang menjijikkan itu dikenang oleh ramai orang! Bagaimana seorang aneh seperti ini dapat menjadi sultan pengemban beban da’wah Islam yang begitu berat dan membutuhkan sebuah kepribadian dengan komposisi khusus?!

 

Itukah kisah dari seorang yang bergelar Al-Malik Ash-Shâlih (raja yang shalih)?! Bukankah sosok yang diceritakan Hikayat itu akan langsung mengingatkan kita kepada Ken Arok, pendiri Singosari yang berasal dari orang kebanyakan dan tidak diketahui asal-usulnya?!

 

Ada sesuatu yang bergerak tidak wajar di lapisan bawah teks Hikayat ini. Apakah karena Islam mengandung perkara-perkara ghaib lantas dengan serta merta pelbagai takhayul dan mistik dapat dibenarkan, diterima dan dikembangkan dengan begitu mudah?! Sesuatu yang sebenarnya sudah mesti disadari bahwa Islam telah meletakkan dasar-dasar keyakinan yang sederhana dan gampang dicerna akal logis, dan tidak sesemeraut dan serumit kisah-kisah mistis.

 

Lalu, bagaimanakah sosok Al-Malik Ash-Shâlih?

 

Sebaik mana kita mengenal Al-Malik Ash-Shâlih sesungguhnya, niscaya kita pun yakin bagaimana suatu pendaman kedengkian telah dilepaskan dengan cara teramat halus ke dalam sebuah kronik atau hikayat yang tampak lahirnya seperti menyanjung, namun setelah diukur dengan neraca Islam, maka nyata sangat konyol dan jauh dari pola kepribadian yang dibentuk oleh Islam.

 

Pada makam Al-Malik Ash-Shâlih, seperti telah disebutkan, terdapat inskripsi pada sisi muka nisan sebelah kaki atau selatan, yang teksnya demikian:

 

“Hâdza al-qabrul al-marhûm al-maghfûr at-taqiy an

 

Abel Pasai

 

Pos terkait