Bersekolah Tak Selalu Berarti Berpendidikan: Saatnya Aceh Menumbuhkan Jiwa Belajar yang Merdeka

 

Ditulis/disusun oleh: Nyakman Lamjamee

 

Indonesiainvestigasi.com

Bacaan Lainnya

 

ADA satu kalimat yang sederhana, tetapi mampu mengetuk ruang kesadaran kita yang paling dalam: bersekolah belum tentu berpendidikan. Kalimat ini bukan tudingan, melainkan pengingat lembut bahwa pendidikan sejati tak berhenti pada bangku kelas atau lembar ujian. Ia adalah perjalanan panjang membentuk manusia utuh, menumbuhkan jiwa yang terbuka, dan menghidupkan semangat belajar yang tak pernah padam.

 

Pandangan semacam ini bukanlah hal baru. Banyak pemikir dunia telah mengingatkan kita tentang bahaya pendidikan yang hanya berorientasi pada hafalan. Paulo Freire, seorang pendidik asal Brasil, mengkritik keras sistem satu arah yang hanya menjadikan siswa sebagai tempat penyimpanan informasi. Sir Ken Robinson dari Inggris menyayangkan bagaimana sistem pendidikan yang seragam kerap tanpa sadar meredam daya cipta dan keunikan setiap anak. Sementara Ki Hadjar Dewantara mengingatkan dengan sangat halus bahwa pendidikan sejati adalah menuntun kodrat anak agar tumbuh sesuai zamannya, bukan memaksanya menjadi sesuatu yang asing dari dirinya sendiri.

 

Dalam khazanah Islam, pesan ini jauh lebih awal bergema. Imam Al-Ghazali menulis bahwa ilmu bukan sekadar hafalan, melainkan cahaya yang menerangi hati. Ibnu Sina mengajarkan pentingnya ilmu yang menyatukan rasionalitas dan spiritualitas. Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah-nya yang termasyhur, menegaskan bahwa pendidikan seharusnya mengajarkan cara berpikir, bukan hanya menjejali pikiran. Imam Syafi‘i sendiri, dalam perjalanannya menuntut ilmu, menunjukkan bahwa belajar adalah ziarah panjang yang menumbuhkan kerendahan hati, bukan kesombongan gelar.

 

Pendidikan, dalam pandangan para tokoh besar ini, bukan sekadar jalan menuju pekerjaan, melainkan jalan menuju kebijaksanaan, kematangan jiwa, dan pengabdian.

 

Sekolah sesungguhnya hanyalah gerbang. Ia tempat singgah yang membuka jalan, bukan tujuan akhir. Banyak orang menempuh jalur formal tinggi, namun kehilangan kepekaan terhadap kehidupan nyata. Mereka menyimpan pengetahuan, tetapi tak mampu menyalakan maknanya. Sebaliknya, banyak pula yang belajar di luar ruang kelas, tumbuh dari pengalaman, berdialog dengan kehidupan, dan menjadi sosok yang menginspirasi. Imam Syafi‘i pernah berpesan, ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada hati yang gelap. Kalimat itu mengajarkan bahwa ilmu sejati hanya akan menetap pada jiwa yang terbuka, penuh ketulusan, dan selalu haus belajar.

 

Aceh memiliki warisan keilmuan yang amat kaya. Jauh sebelum sistem sekolah modern hadir, dayah, meunasah, dan gampong telah menjadi pusat peradaban ilmu. Di sana, anak-anak tak hanya belajar membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga diajak mengenal kehidupan, mengasah kepekaan, dan menumbuhkan akhlak. Sejarah mencatat bagaimana Aceh menjadi salah satu pusat keilmuan Islam di Asia Tenggara, melahirkan ulama besar yang gagasannya melintasi zaman. Di tempat-tempat itulah pendidikan berlangsung dalam makna sesungguhnya: menyentuh akal, hati, dan jiwa secara bersamaan.

 

Namun modernisasi membawa arus besar. Kurikulum seragam seringkali membuat sekolah kehilangan keintiman makna. Ruang belajar menjadi tempat ujian, bukan taman pengetahuan. Anak-anak disibukkan dengan angka dan nilai, sementara semangat bertanya dan berimajinasi perlahan surut. Padahal, Aceh memiliki kekayaan lokal yang bila dirawat dengan bijak, dapat menjadi kekuatan besar untuk menata kembali arah pendidikan ke depan.

 

Membangun kembali makna pendidikan di Aceh bukan sekadar soal mengganti kurikulum, tetapi mengembalikan ruhnya. Pendidikan harus kembali berpihak pada manusia. Ia harus kembali menjadi perjalanan yang menyenangkan, bukan sekadar tuntutan administratif. Kurikulum perlu memberi ruang pada sejarah Aceh, adat, agama, dan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan turun-temurun. Metode belajar harus kembali membuka ruang dialog, seperti halnya halaqah para ulama dahulu: tempat bertanya, berpikir, dan bertumbuh.

 

Dayah dan meunasah dapat menjadi mitra strategis sekolah formal. Kolaborasi keduanya dapat menciptakan keseimbangan antara pengetahuan modern dan spiritualitas. Belajar juga tidak boleh berhenti di sekolah. Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW telah bersabda, “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat.” Pesan ini bukan sekadar ajakan, tetapi dorongan untuk menumbuhkan budaya belajar sepanjang hayat. Orang dewasa pun perlu terus belajar, agar semangat itu hidup di tengah masyarakat.

 

Aceh memiliki peluang besar untuk melahirkan model pendidikan yang unik dan kuat. Pendidikan yang berakar pada nilai-nilai lokal, terbuka pada cakrawala dunia, dan lembut dalam pendekatannya. Bayangkan sebuah generasi yang tumbuh bukan hanya dengan kecerdasan otak, tapi juga kelembutan hati. Generasi yang mencintai budayanya sendiri, tetapi terbuka pada ilmu dari seluruh penjuru dunia. Generasi yang tidak hanya siap bekerja, tapi juga siap memimpin dan mengabdi.

 

Pendidikan adalah ziarah panjang. Ia tidak berhenti saat upacara kelulusan selesai, tidak berakhir ketika ijazah digenggam. Ia hidup dalam cara kita memandang dunia, memperlakukan sesama, dan menapaki kehidupan dengan keberanian dan kasih. Imam Al-Ghazali mengingatkan, ilmu tanpa amal adalah kesia-siaan, amal tanpa ilmu adalah kesesatan. Maka ilmu harus menjadi suluh kehidupan, bukan sekadar hiasan gelar.

 

Mari kita jaga semangat belajar ini dengan hati yang lapang dan pikiran yang terbuka. Jadikan rumah, gampong, dayah, masjid, pasar, dan alam sekitar sebagai ruang belajar yang tak pernah berhenti. Karena sesungguhnya, bersekolah belum tentu berpendidikan. Tetapi mereka yang benar-benar berpendidikan akan terus belajar, di mana pun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun.

 

Jika semangat itu tumbuh kembali di tanah Aceh, maka masa depan daerah ini akan menyala terang. Bukan semata karena bangunan sekolah yang megah, tetapi karena cahaya ilmu dan jiwa belajar yang hidup di dada anak-anak negeri.

 

-M12H-

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *