Aksi Dugaan Penguasaan Lahan oleh LLDIKTI, Warga Padang Terancam Kehilangan Tanah Pusako

Indonesia Investigasi

 

PADANG, SUMBAR — Warga Kelurahan Kurao Pagang, Kecamatan Nanggalo, Kota Padang, Sumatera Barat, tengah dilanda kegelisahan mendalam. Pasalnya, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) diduga melakukan eksekusi sepihak terhadap lahan pusako tinggi yang telah ditempati turun-temurun oleh keluarga Lidiawati (38) dan tiga ahli waris lainnya. Aksi pemasangan patok tanpa persetujuan yang dilakukan pada 22 April 2025 tersebut dinilai sebagai bentuk perampasan hak atas tanah adat.

 

Bacaan Lainnya

“Tanah ini pusako tinggi keluarga kami sejak 1973. Tapi saat saya coba menjelaskan saat bertemu dengan pihak LLDIKTI di Kejati Sumbar, saya malah dibentak dan dituding sebagai perampas. Padahal kami punya surat dan bukti waris,” keluh Lidiawati dengan suara getir.

 

Alih-alih mendapat perlindungan hukum, Lidiawati justru merasa diperlakukan tidak adil. Harapannya untuk mendapatkan penjelasan dari pihak Kejaksaan juga kandas. Pihak LLDIKTI tetap datang dan memasang patok di atas tanah yang telah menjadi tempat tinggal keluarganya selama puluhan tahun.

 

“Masyarakat sekitar tahu kami tinggal di sini sejak lama. Tapi setelah kedua orang tua saya wafat, muncul pihak-pihak yang mencoba menguasai lahan. Bahkan ada yang membangun bengkel tanpa izin di atasnya,” ungkapnya, merujuk pada seorang pria yang dikenal sebagai Datuk Motor.

 

Di tengah kemelut ini, muncul pula indikasi adanya upaya pembodohan dan intimidasi, penekanan mental terhadap ahli waris, oleh oknum-oknum yang berkepentingan. Dalam ketakutannya, Lidiawati masih sempat meminta bantuan pengacara. Namun, diduga pengacaranya pun tidak membela saat dibutuhkan.

 

“Saya hanya ingin didampingi, bukan ditinggalkan. Tapi pengacara yang saya percaya malah terkesan berpihak ke lawan. Saat di lokasi, saya merasa sendirian, tak ada yang membela,” ujarnya lirih.

 

Untungnya, masih ada sebagian warga yang berani bersuara dan mendesak agar aksi LLDIKTI tidak dilakukan secara brutal. Salah satunya adalah IJ, tokoh masyarakat yang juga menjabat sebagai Ketua LPM setempat.

 

Secara hukum, eksekusi terhadap lahan yang disengketakan hanya bisa dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Proses ini pun harus melalui tahapan formal yang ketat: permohonan eksekusi oleh pihak pemenang, peringatan oleh ketua pengadilan kepada pihak yang kalah, hingga pelaksanaan eksekusi fisik dengan pengamanan resmi dari aparat.

 

Namun, Lidiawati mengaku tidak pernah mengikuti proses peradilan apapun, selain menghadiri panggilan mediasi di Kejaksaan Tinggi Sumbar. Ia menyatakan tidak pernah dipanggil oleh pengadilan, apalagi menjalani sidang.

 

“Kami hanya menerima surat-surat pengosongan yang kop-nya LLDIKTI dan tanda tangan Kejati, padahal kami belum pernah duduk di pengadilan untuk membela hak kami,” jelasnya.

 

Kondisi ini menimbulkan kecurigaan bahwa tindakan LLDIKTI hanyalah sebuah klaim legalitas semu, yang berpotensi menjadi bentuk arogansi kelembagaan. Klaim telah adanya putusan pengadilan yang tidak pernah diketahui atau disosialisasikan kepada pihak tergugat mengindikasikan adanya pelanggaran asas keadilan dan prosedur hukum yang semestinya terbuka dan transparan.

 

Kasus ini menjadi cerminan dari persoalan laten yang terus menghantui masyarakat adat dan pemilik tanah pusako tinggi: lemahnya perlindungan hukum, minimnya akses terhadap informasi legal, serta longgarnya sistem administrasi pertanahan telah menciptakan ruang subur bagi pengambilalihan paksa dan praktik semena-mena atas nama institusi.

 

Lidiawati dan para ahli waris lainnya menegaskan bahwa mereka tidak akan tinggal diam.

 

“Kami hanya minta hak kami dihormati, bukan diabaikan. Tanah ini bukan milik negara, bukan pula hibah – ini warisan keluarga kami,” tegasnya.

 

Media ini mendesak pihak LLDIKTI dan aparat penegak hukum untuk memberikan klarifikasi terbuka atas dasar hukum tindakan mereka. Pemerintah daerah, Ombudsman, dan lembaga perlindungan hak adat pun diharapkan turun tangan agar keadilan tidak menjadi milik segelintir yang berkuasa saja.

 

Sebab keadilan sosial bukan hanya semboyan—ia harus hadir nyata, terutama bagi mereka yang paling rentan dan kerap diabaikan dalam struktur hukum.

 

Reporter : Ermawati

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *