Air Mata Negeri dan Tanggung Jawab Ekologis

Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,

 

Menyulam Hifzul Biah dalam Nada dan Makna”

Ditulis/disusun Oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.,

(Alumni Madrasah Ulumul Qur’an-Dayah Bustanul Ulum Langsa, Alumni Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Islam-Fakultas Syari’ah dan Hukum-UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Bacaan Lainnya

 

DALAM senyap yang menggema, lagu “Ie Mata Nanggroe” mengalun seperti doa yang merintih dari luka bumi. Ia bukan sekadar nyanyian, melainkan ratapan panjang atas negeri yang terluka, atas tanah yang merintih dalam diam. Lagu ini bukan hanya tentang nostalgia, tetapi tentang tanggung jawab. Tentang cinta yang tak hanya bersemayam di hati, tapi juga menuntut aksi nyata: menjaga, merawat dan menyembuhkan bumi yang kita pijak.

Dalam Islam, cinta terhadap tanah kelahiran bukan sekadar romantisme. Ia adalah bagian dari amanah. Ketika Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya bumi ini dijadikan untukku sebagai masjid dan tempat suci” (HR. Bukhari dan Muslim), beliau sedang menegaskan bahwa bumi bukan sekadar tempat tinggal, tetapi ruang ibadah. Maka, merusaknya adalah bentuk pengkhianatan terhadap kesucian yang Allah titipkan.

Konsep maqashid syariah selama ini dikenal dengan lima pokok utama: menjaga agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), keturunan (hifz al-nasl) dan harta (hifz al-mal). Namun, zaman telah berubah. Krisis ekologis yang melanda dunia menuntut kita untuk memperluas cakrawala maqashid. Di sinilah hifzul biah (perlindungan lingkungan) muncul sebagai maqashid baru yang tak kalah penting.

Hifzul biah bukan sekadar tambahan yang memperindah kerangka dari maqashid. Ia adalah fondasi yang menopang seluruh maqashid lainnya. Bagaimana mungkin kita menjaga jiwa jika udara yang kita hirup beracun? Bagaimana mungkin kita melindungi akal jika air yang kita minum tercemar? Bagaimana mungkin kita mempertahankan keturunan jika tanah dan laut tak lagi subur?

Lagu “Ie Mata Nanggroe” menyuarakan kerinduan pada tanah yang damai, lestari, tidak tercabik oleh perang, eksploitasi, atau bencana. Dalam bait-baitnya, kita mendengar gema dari QS. Al-A’raf: 56, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” Ini bukan hanya larangan, tapi juga seruan untuk bertanggung jawab.

Ketika penyanyi melantunkan “Ie mata nanggroe, hana le nyan hana le nyoe,” kita seolah diajak menyaksikan air mata bumi yang tak lagi bisa dibendung. Air mata itu bukan hanya metafora, tapi nyata: banjir yang menenggelamkan desa, longsor yang menelan rumah dan kekeringan yang mematikan sawah. Semua itu adalah jeritan bumi yang tak lagi kuat menanggung beban dosa ekologis manusia.

Dalam perspektif maqashid, menjaga lingkungan adalah bagian dari menjaga kehidupan. QS. Al-Baqarah: 205 menyebutkan, “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak dan Allah tidak menyukai kerusakan.” Ayat ini menegaskan bahwa kerusakan lingkungan adalah bentuk kezaliman.

Lagu ini, dalam kesederhanaannya, menyimpan kekuatan naratif yang luar biasa. Ia menghidupkan kembali kesadaran ekologis yang selama ini tertidur. Ia menyulam antara rasa dan tanggung jawab, antara cinta dan aksi. Dalam konteks Aceh, lagu ini juga menjadi refleksi atas luka sejarah dan harapan akan pemulihan yang menyeluruh—baik sosial, spiritual, maupun ekologis.

Hifzul biah bukan hanya urusan aktivis lingkungan. Ia adalah tugas setiap mukmin. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah saw bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh lebih cabang… yang paling tinggi adalah ucapan ‘La ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan.” Menjaga lingkungan adalah bagian dari iman. Kita hidup di zaman di mana bumi tak lagi bisa menjerit. Ia hanya bisa menunjukkan luka: suhu yang melonjak, es yang mencair, laut yang menelan daratan. Dalam kondisi ini, maqashid syariah tak bisa lagi dibaca secara sempit. Kita butuh pembacaan baru yang menyatukan teks dan konteks, wahyu dan realitas.

Hifzul biah juga menyentuh aspek spiritualitas. Dalam tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menekankan bahwa: manusia adalah khalifah yang ditugaskan untuk memakmurkan bumi, bukan mengeksploitasinya. Maka, menjaga lingkungan adalah bentuk ibadah. Ia bukan sekadar etika, tapi bagian dari penghambaan.

Lagu “Ie Mata Nanggroe” bisa menjadi bahan ajar yang kuat dalam pendidikan Islam. Ia bisa digunakan untuk mengajarkan bahwa mencintai negeri bukan hanya soal simbol, tapi juga soal menjaga sungai, hutan dan udara. Ia bisa menjadi pintu masuk untuk mengajarkan hifzul biah kepada generasi muda dengan pendekatan yang menyentuh hati.

Dalam kerangka maqashid kontemporer, hifzul biah bisa dikategorikan sebagai maqashid dharuriyyah baru, sebuah kebutuhan primer yang tak bisa ditunda. Tanpa lingkungan yang sehat, seluruh sistem kehidupan akan runtuh. Maka, memperjuangkan lingkungan adalah memperjuangkan maqashid itu sendiri. Kita juga bisa melihat hifzul biah sebagai maqashid kulliyyah (tujuan universal syariah) yang melintasi batas agama, bangsa dan waktu. Krisis iklim adalah masalah global. Maka, Islam hadir bukan hanya untuk umatnya, tapi untuk seluruh alam. Bukankah Nabi diutus sebagai rahmat bagi semesta?

Lagu ini juga mengingatkan kita bahwa lingkungan bukan hanya soal fisik, tapi juga kultural. Ketika hutan ditebang, bukan hanya pohon yang hilang, tapi juga bahasa, adat dan ingatan kolektif. Maka, hifzul biah juga berarti menjaga warisan budaya, menjaga “rasa” yang hidup dalam lagu, tarian dan tutur.

Dalam konteks Aceh hari ini, hifzul biah juga berarti menjaga laut dari pencemaran, hutan dari pembalakan liar dan sungai dari limbah industri. Ini bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga masyarakat sipil, ulama dan seniman. Lagu seperti “Ie Mata Nanggroe” bisa menjadi jembatan antara kebijakan dan kesadaran publik.

Kita butuh lebih banyak karya seni yang menyuarakan maqashid. Bukan hanya khutbah dan fatwa, tapi juga puisi, film dan lagu. Karena manusia bukan hanya makhluk rasional, tapi juga makhluk rasa. Dan sering kali, perubahan besar dimulai dari hati yang tersentuh.

Pada kesimpulannya, mari kita dengarkan kembali lagu itu, bukan hanya dengan telinga, tapi dengan hati dan akal. Mari kita jadikan setiap baitnya sebagai pengingat bahwa: “bumi ini bukan warisan nenek moyang, tapi titipan anak cucu.” Dan menjaga titipan adalah bagian dari iman. Jika maqashid adalah jantung syariah, maka hifzul biah adalah denyut nadinya. Tanpa bumi yang sehat, tak ada ruang bagi ibadah, ilmu, atau kehidupan. Maka, mari kita jaga bumi ini seperti kita menjaga shalat. Dengan cinta, dengan tanggung jawab, dan dengan air mata yang tak sia-sia.

Banda Aceh, 2 Desember 2025

M12H

 

 

 

 

 

Pos terkait