๐‹๐จ๐ง๐  ๐’๐ก๐š๐๐จ๐ฐ๐ฌ ๐Ž๐ฏ๐ž๐ซ ๐†๐š๐ณ๐š: ๐€ ๐Œ๐ข๐ซ๐ซ๐จ๐ซ ๐Ÿ๐จ๐ซ ๐†๐ฅ๐จ๐›๐š๐ฅ ๐‡๐ฎ๐ฆ๐š๐ง๐ข๐ญ๐ฒ ๐‘๐ž๐Ÿ๐ฅ๐ž๐œ๐ญ๐ข๐จ๐ง๐ฌ ๐จ๐ง ๐ญ๐ก๐ž ๐‚๐ฎ๐ซ๐ซ๐ž๐ง๐ญ ๐ˆ๐ซ๐š๐ง-๐ˆ๐ฌ๐ซ๐š๐ž๐ฅ ๐–๐š๐ซ

By: Drs. Muhammad Bardansyah, Ch.Cht

 

Saya membuat tulisan dalam dua Bahasa dengan maksud bahwa tulisan atau himbauan ini bukan hanya untuk dibaca oleh warga yang berbahasa Indonesia, melainkan jika bisa juga untuk dibaca oleh Warga Global

 

Bacaan Lainnya

For seventy-five years, Gaza’s skies have offered not blue promises of peace, but a grey canvas of concealed terror. For children born here, “the clink of a spoon against a plate” is no morning routine, but a haunting prelude to bullets that snatch lives without warning.

 

For elders, “the rumble of garbage trucks” transcends urban noise โ€“ it’s a seismic echo of bombs that flattened homes decades past. This reality crystallizes in collective memory: fear as constant breath, suffering as mother tongue.

 

The world’s silence remains most devastating. For generations, their cries echoed in a vacuum of solidarity. When homes became dust, when hospitals overflowed with the mutilated, the world turned away. Suffering that should have moved humanity’s boundaries drowned instead in frozen geopolitics. Gaza stands witness: how conveniently human pain is dismissed as “too complex a conflict.”

 

Then came fear’s wave crashing upon Israel. For the first time, a generation felt earth tremble beneath explosions, saw missiles split night skies. That blinding panic, choking uncertainty? Merely a glimpse of the “abnormal normalcy” their Gazan neighbors have endured across generations.

 

Iran’s retaliation delivered a brutal lesson: Violence births only vicious cycles of suffering. When Iran’s nuclear facilities vanished on June 13, 2025, and scientists perished, no victory emerged โ€“ only wounds destined to bleed for decades.

 

Yet within this smoke lies revelation: As Israel tastes war’s bitterness, the world โ€“ and Israelis themselves โ€“ must open their eyes.

 

 

๐“๐ก๐ข๐ฌ ๐ข๐ฌ ๐ง๐จ๐ญ ๐š๐›๐จ๐ฎ๐ญ ๐ซ๐ž๐ฏ๐ž๐ง๐ ๐ž. ๐“๐ก๐ข๐ฌ ๐ข๐ฌ ๐š๐›๐จ๐ฎ๐ญ ๐ซ๐ž๐œ๐จ๐ ๐ง๐ข๐ญ๐ข๐จ๐ง.

 

When sirens wail in Tel Aviv, can we fathom Gaza’s deeper terror? No steel bunkers. No missile shields. Only open skies and prayers.

 

When an Israeli mother shields her child in a safe room, does she feel the Gazan mother’s despair? Clutching her child in darkness, praying bullets won’t choose them tonight.

 

๐“๐ก๐ข๐ฌ ๐ข๐ฌ ๐š ๐ฎ๐ง๐ข๐ฏ๐ž๐ซ๐ฌ๐š๐ฅ ๐œ๐ซ๐ฒ ๐Ÿ๐จ๐ซ ๐ก๐ฎ๐ฆ๐š๐ง๐ข๐ญ๐ฒ:.

 

To the Global Community: Shatter your silence. Human suffering transcends flags. Demand leaders condemn all cruelty โ€“ regardless of origin โ€“ and choose dialogue over weapons.

 

To Israeli Society: Hear your conscience. Ask your government: Can “security” built on Gazan children’s rubble be called victory? Reject policies sacrificing civilians.

 

To World Leaders: War is diplomacy’s bankruptcy. Every exploded bomb confesses reason’s defeat. You โ€“ architects of these decisions โ€“ bear accountability for this catastrophe.

 

Gaza proves: Prolonged suffering cannot extinguish hope. In rubble, children still sketch flowers; in lightless rooms, poets still ink verses of peace. If their hope endures decades, how can we do less?

 

Let this region’s pain catalyze one truth:

 

๐‡๐ž๐›๐ซ๐ž๐ฐ ๐š๐ง๐ ๐€๐ซ๐š๐›๐ข๐œ ๐›๐ฅ๐จ๐จ๐ ๐Ÿ๐ฅ๐จ๐ฐ๐ฌ ๐ญ๐ก๐ž ๐ฌ๐š๐ฆ๐ž ๐œ๐ซ๐ข๐ฆ๐ฌ๐จ๐ง. ๐‡๐ฎ๐ฆ๐š๐ง๐ข๐ญ๐ฒ ๐๐ž๐ฆ๐š๐ง๐๐ฌ ๐ฃ๐ฎ๐ฌ๐ญ๐ข๐œ๐ž-๐›๐จ๐ซ๐ง ๐ฉ๐ž๐š๐œ๐ž โ€“ ๐ง๐จ๐ญ ๐ซ๐ฎ๐ข๐ง-๐›๐จ๐ซ๐ง ๐ฌ๐ข๐ฅ๐ž๐ง๐œ๐ž.

 

Selama tujuh puluh lima tahun, langit Gaza bukanlah hamparan biru yang menjanjikan kedamaian, melainkan kanvas kelabu yang menyimpan teror.

 

Bagi anak-anak yang lahir di sini, “dentingan sendok di piring” bukanlah bunyi rutin pagi hari, melainkan pengingat akan desing peluru yang bisa merenggut nyawa kapan saja.

 

Bagi orang tua, “gemuruh truk sampah” bukan sekadar kebisingan kota, melainkan pemicu trauma akan suara bom yang menghancurkan rumah-rumah mereka bertahun silam.

 

Ini adalah realitas yang mengkristal menjadi memori kolektif: ketakutan yang menjadi napas sehari-hari, penderitaan yang menjadi bahasa ibu.

 

Yang menyayat hati adalah kesunyian dunia. Puluhan tahun jeritan itu menggema dalam ruang hampa solidaritas. Ketika rumah-rumah rata dengan tanah, Ketika Rumah sakit dan klinik-klinik darurat penuh sesak oleh korban luka, mata dunia sering kali berpaling.

 

Penderitaan yang seharusnya menggerakkan batas-batas kemanusiaan justru tenggelam dalam politik yang beku. Gaza menjadi saksi bisu: betapa mudahnya penderitaan manusia diabaikan ketika dianggap “konflik yang terlalu rumit”.

 

Kemudian, datanglah gelombang ketakutan yang menyapu Israel baru-baru ini.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, generasi muda Israel merasakan tanah gemetar oleh ledakan, melihat langit malam terbelah oleh rudal.

 

Kepanikan yang membutakan, ketidakpastian yang mencekikโ€”semua itu adalah secuil dari apa yang telah menjadi “normalitas abnormal” bagi tetangga mereka di Gaza selama beberapa generasi.

 

Serangan balasan Iran menyisakan pelajaran mahal: Eskalasi kekerasan hanya melahirkan lingkaran setan penderitaan baru.

 

Ketika fasilitas nuklir Iran hancur pada 13 Juni 2025, dan ilmuwan-ilmuwan tewas, yang tersisa bukanlah kemenangan, melainkan luka baru yang akan berdarah puluhan tahun.

 

Tapi di balik asap pertempuran ini, tersembunyi sebuah kesempatan emas: saat Israel merasakan pahitnya perang, inilah momen bagi duniaโ€”dan terutama masyarakat Israel sendiriโ€”untuk membuka mata lebar-lebar.

 

Ini bukan tentang pembalasan. Ini tentang pengakuan. Ketika sirene meraung di Tel Aviv, bisakah kita bayangkan betapa lebih dalam terornya ketika sirene itu berbunyi di Gaza, tanpa bunker baja, tanpa sistem pertahanan canggih, hanya langit terbuka dan doa?

 

Ketika seorang ibu Israel gemetar menyelimuti anaknya di ruang aman, bisakah ia merasakan denyut keputusasaan ibu Gaza yang hanya bisa memeluk anaknya erat-erat, berharap peluru tak memilih mereka malam itu?

 

๐’๐ž๐ซ๐ฎ๐š๐ง ๐ข๐ง๐ข ๐š๐๐š๐ฅ๐š๐ก ๐ฌ๐ž๐ซ๐ฎ๐š๐ง ๐ค๐ž๐ฆ๐š๐ง๐ฎ๐ฌ๐ข๐š๐š๐ง ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐ฎ๐ง๐ข๐ฏ๐ž๐ซ๐ฌ๐š๐ฅ:

 

Bagi Masyarakat Global: Hentikan kebisuan. Penderitaan manusia tak boleh dinilai dari bendera atau geopolitik.

 

Tekanlah pemimpin Anda untuk mengutuk setiap kekejaman, dari mana pun asalnya dan prioritaskan dialog atas senjata.

 

Bagi Masyarakat Israel: Dengarkan jerit hati nurani Anda. Tanyakan pada pemerintah: Apakah “keamanan” yang dibangun di atas puing-puing rumah anak-anak Gaza bisa disebut kemenangan? Gunakan suara Anda untuk menolak kebijakan yang mengorbankan nyawa sipil.

 

Bagi Para Pemimpin: Perang adalah kegagalan diplomasi. Setiap bom yang meledak adalah pengakuan bahwa akal sehat telah kalah. Dan Anda sebagai pemimpin harus mempertanggungjawabkan bencana kemanusiaan ini , karena ini kebanyakan adalah keputusan dan kebijakan yang anda buat.

 

Gaza telah membuktikan: penderitaan yang panjang sekalipun tak pernah bisa membunuh harapan.

 

Di tengah reruntuhan, anak-anak masih menggambar bunga; di ruang gelap tanpa listrik, penyair masih menulis puisi tentang perdamaian. Jika keberanian mereka untuk berharap bisa bertahan puluhan tahun, bukankah kita semua mampu berbuat lebih?

 

Biarlah kesakitan yang kini dirasakan di seluruh kawasan menjadi katalis akhir untuk satu hal: pengakuan bahwa darah yang mengalir, baik yang berbahasa Ibrani maupun Arab, adalah darah manusia yang sama merahnya. Dan kemanusiaan itu menuntut satu hal: perdamaian yang lahir dari keadilan, bukan dari reruntuhan.(Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *