Tawarkan Wartawan Yusup Bahtiar Ngopi Bareng Tak Selesaikan Masalah: Pelayanan RS Karunia Kasih Disorot Tajam DPRD Kota Bekasi

 

Indonesia Investigasi 

 

BEKASI – Polemik dugaan penolakan pasien oleh RS Karunia Kasih memantik reaksi keras dari Anggota DPRD Kota Bekasi Komisi IV, Ahmadi. Dengan nada tegas, ia menekankan bahwa rumah sakit bukan tempat tawar-menawar, dan nyawa manusia tidak boleh dijadikan korban kelalaian maupun kebijakan internal yang keliru.(18/12).

Bacaan Lainnya

 

Ahmadi mengingatkan, kewajiban pelayanan kesehatan telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 48, yang menegaskan pelayanan kesehatan harus dilakukan secara terpadu, berkesinambungan, dan mengedepankan keselamatan pasien.

 

“Undang-undang jelas. Pelayanan kesehatan tidak boleh setengah-setengah. Tidak boleh ada pembiaran, apalagi penolakan pasien dengan alasan apa pun,” tegas Ahmadi.

 

Menurutnya, jika dugaan penolakan pasien oleh RS Karunia Kasih terbukti, maka persoalan tersebut bukan lagi soal etika pelayanan, melainkan berpotensi menjadi pelanggaran hukum serius. DPRD Kota Bekasi, lanjut Ahmadi, mendorong Dinas Kesehatan Kota Bekasi untuk segera turun tangan, melakukan evaluasi menyeluruh, audit tegas terhadap manajemen rumah sakit, hingga langkah sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

 

Di lapangan, kontras tajam justru terlihat jelas. RSUD Pondok Gede bersama jajaran Polsek Pondok Gede dinilai menunjukkan wajah kemanusiaan yang sesungguhnya, dengan memberikan perhatian, pendampingan, dan kepedulian nyata terhadap wartawan Yusup Bahtiar, tanpa diskriminasi dan tanpa syarat.

 

Perbedaan perlakuan ini memicu pertanyaan publik yang kian mengeras: mengapa fasilitas kesehatan milik pemerintah dan aparat negara justru hadir membela kemanusiaan, sementara rumah sakit swasta diduga menutup pintu pelayanan?

 

Sorotan publik semakin tajam setelah mencuat informasi mengenai oknum manajemen RS Karunia Kasih berinisial FJR, yang disebut-sebut mengutus seseorang untuk menemui wartawan Yusup Bahtiar dengan dalih mengajak “ngopi”. Langkah tersebut justru menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat—apakah ini bentuk klarifikasi terbuka, atau upaya meredam persoalan di luar mekanisme resmi?

 

Sementara itu, Nurata, Ketua WN 88, turut angkat bicara. Ia mengungkapkan bahwa kejadian serupa pernah dialami keluarganya, dan ia menduga bukan tidak mungkin masih banyak korban lain di luar sana yang memilih diam.

 

“Bisa jadi kasus seperti ini bukan satu dua. Mungkin banyak, hanya saja mereka tidak berani bicara,” ujar Nurata.

 

Pernyataan tersebut memperkuat desakan agar kasus ini tidak diselesaikan secara informal, melainkan dibuka secara terang-benderang demi kepentingan publik.

 

Kini, sorotan tajam tertuju pada Dinas Kesehatan dan otoritas terkait—apakah dugaan ini akan diusut tuntas, atau kembali tenggelam tanpa kejelasan?

 

 

YB

Pos terkait