Ditulis/disusun Oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.,
Indonesiainvestigasi.com
AKTIVITAS pertambangan ilegal di Aceh yang semakin menunjukkan kompleksitas persoalan yang melibatkan aspek hukum, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Fenomena ini tersebar di berbagai wilayah di Provinsi Aceh di beberapa kabupaten, diantaranya: Aceh Jaya, Nagan Raya, Gayo Lues, dan Pidie, dengan ratusan titik tambang aktif yang beroperasi tanpa izin resmi. Dampaknya mencakup kerusakan ekosistem, konflik sosial, dan potensi pelanggaran hukum yang sistemik.
Secara metodologis, perlu digunakan langkah guna mengidentifikasi pola, aktor, dan struktur yang menopang praktik tambang ilegal. Analisis ini bertumpu pada teori tata kelola sumber daya alam dan model partisipatif komunitas, dengan tujuan untuk memahami dinamika lokal secara menyeluruh.
Salah satu temuan utama adalah keterlibatan berbagai pihak dalam rantai praktik ilegal, termasuk oknum aparat, pengusaha lokal, dan masyarakat sekitar. Praktik setoran informal kepada pihak tertentu menunjukkan adanya sistem paralel yang berjalan di luar mekanisme hukum formal.
Dari sisi masyarakat, keterlibatan dalam tambang ilegal sering kali didorong oleh kebutuhan ekonomi dan keterbatasan akses terhadap sumber penghidupan lain. Tanpa adanya alternatif yang memadai, larangan terhadap tambang ilegal berisiko menimbulkan ketegangan sosial dan resistensi komunitas.
Langkah penertiban yang bersifat represif, seperti razia alat berat dan penutupan lokasi tambang, terbukti belum memberikan dampak strategis secara jangka panjang. Pendekatan ini cenderung mengatasi gejala tanpa menyentuh akar persoalan karena terindikasi adanya ketimpangan akses dan lemahnya sistem pengawasan.
Instruksi Gubernur Aceh dan pembentukan Satuan Tugas Penertiban merupakan inisiatif awal yang patut dicatat. Namun, efektivitasnya tergantung pada transparansi pelaksanaan di lapangan, integritas para aparat penegak hukum, dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengawasan.
Pemerintah pusat melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) memiliki peran strategis dalam mendukung penegakan hukum dan pemulihan fungsi kawasan hutan. Koordinasi lintas lembaga dapat menjadi kunci untuk menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan dan memperkuat efektivitas kebijakan.
Pada tingkat lokal, penguatan kelembagaan masyarakat seperti koperasi gampong dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dapat menjadi solusi secara jangka menengah. Model ini memungkinkan pengelolaan sumber daya secara legal, transparan, dan berbasis kepentingan komunitas.
Penyusunan regulasi yang mendukung legalisasi terbatas tambang rakyat perlu mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi secara seimbang. Kajian dampak lingkungan dan audit berkala harus menjadi bagian dari sistem perizinan yang baru.
Teknologi pengawasan melalui teknologi canggih seperti drone, sensor tanah, dan pelaporan digital dapat digunakan untuk memantau aktivitas tambang secara real-time. Transparansi data dan akses publik terhadap informasi menjadi elemen penting dalam mencegah terjadinya penyimpangan.
Pendidikan publik mengenai dampak tambang ilegal dan hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat perlu digalakkan. Kampanye literasi hukum dan lingkungan dapat dimulai dari lembaga pendidikan dari setiap tingkatannya, tempat ibadah, media massa serta sosial yang akuntabel dan melalui forum-forum komunitas.
Peran tokoh adat, ulama, dan akademisi dalam membangun narasi alternatif yang sinergi tentang tambang berkelanjutan juga sangat penting dilakukan. Narasi tersebut haruslah menggabungkan nilai-nilau lokal, etika lingkungan, dan prinsip ekonomi kerakyatan.
Sanksi sosial terhadap pelaku tambang ilegal yang merusak lingkungan dapat memperkuat norma dalam komunitas. Mekanisme seperti ini akan memperkuat sanksi secara hukum formal dan kontrol sosial berbasis nilai lokal (local wisdom).
Dokumentasi dan publikasi dari dampak tambang ilegal terhadap kehidupan masyarakat, seperti pencemaran air dan hilangnya lahan produktif, perlu disusun secara sistematis. Data ini dapat digunakan sebagai bahan advokasi dan dasar perumusan kebijakan.
Transformasi tambang ilegal menjadi tambang legal yang berkelanjutan harus menjadi bagian dari agenda pembangunan daerah di Aceh. Pendekatan ini menempatkan sumber daya alam sebagai aset strategis yang kemudian dikelola demi kesejahteraan secara bersama.
Pemerintah Aceh perlu menyusun peta jalan (roadmap) penataan tambang rakyat secara menyeluruh mencakup aspek regulasi, kelembagaan, pendanaan, dan pengawasan. Peta jalan ini harus disusun secara partisipatif dan berbasis data.
Evaluasi berkala terhadap kebijakan dan program penertiban tambang ilegal perlu dilakukan untuk memastikan efektivitas dan akuntabilitas. Mekanisme evaluasi harus melibatkan unsur masyarakat sipil dan lembaga independen agar adanya masukkan yang lebih sistematis dan konstruktif.
Dengan pendekatan yang sistemik dan partisipatif, benang kusut tambang ilegal di Aceh dapat diurai secara bertahap. Proses ini membutuhkan komitmen dari segenap para stakeholder dari setiap lintas sektoral dan secara keberlanjutan harus menghasilkan kebijakan yang bersifat konsisten.
Pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan ini tentunya bukan hanya soal regulasi, tetapi juga soal membangun kesadaran setiap pihak secara kolektif. Kesadaran ini menjadi fondasi yang kokoh dalam tata kelola yang berpihak pada lingkungan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
Nurhalim,