Disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.,
Indonesiainvestigasi.com
DALAM hiruk-pikuk kehidupan modern, sosok ayah sering kali hadir sebagai bayangan yang samar, terlihat namun tak sepenuhnya hadir. Ia menjadi simbol kekuatan, penopang ekonomi, dan pelindung keluarga. Namun di balik peran besar itu, tersembunyi luka-luka yang tak terlihat: tekanan mental, kelelahan emosional, dan keterasingan dalam dunia pengasuhan. Artikel Ustazah Yanti Tanjung membuka tabir penting ini, menyoroti bagaimana kesehatan mental ayah menjadi penentu arah tumbuh kembang anak dan masa depan generasi.
Studi yang dikutip dari JAMA Pediatrics menunjukkan bahwa, kesehatan mental ayah berkorelasi langsung dengan perkembangan anak, mulai dari aspek kognitif, emosional, hingga fisik. Ini bukan sekadar teori akademik, melainkan kenyataan yang hidup di tengah masyarakat kita. Ayah yang sehat secara mental cenderung memberikan pengasuhan yang penuh kasih, sementara ayah yang tertekan justru menjadi sumber luka bagi anak-anaknya.
Transisi menjadi ayah bukanlah proses yang ringan. Data menunjukkan bahwa 8% pria mengalami depresi klinis, 11% mengalami kecemasan, dan 6–9% mengalami stres tinggi selama masa perinatal. Angka-angka ini mencerminkan betapa besar beban yang dipikul seorang lelaki saat ia melangkah ke dunia per-ayahan. Namun, masyarakat sering kali menuntut ayah untuk tetap kuat, tanpa memberi ruang untuk rapuh.
Beban ekonomi menjadi salah satu pemicu utama tekanan mental ayah. Ia dituntut untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan keluarga. Ironisnya, tanggung jawab ini seharusnya menjadi bagian dari peran negara, namun justru ditimpakan sepenuhnya kepada individu. Akibatnya, banyak ayah terjebak dalam pekerjaan serabutan, pengangguran, dan ketidakpastian finansial yang menggerus ketenangan jiwa.
Kesibukan mencari nafkah membuat ayah kehilangan waktu berkualitas bersama anak-anaknya. Ia hadir secara fisik, namun absen secara emosional. Anak-anak tumbuh tanpa sentuhan kasih, tanpa dialog yang membangun, dan tanpa teladan yang utuh. Dalam jangka panjang, ini menciptakan generasi yang rapuh secara emosional dan kehilangan arah hidup.
Lebih menyedihkan lagi, sistem pendidikan kita tidak pernah menyiapkan laki-laki untuk menjadi ayah. Tidak ada kurikulum yang mengajarkan tentang pengasuhan, komunikasi keluarga, atau manajemen emosi. Ayah masuk ke dunia parenting tanpa bekal, tanpa peta, dan tanpa kompas. Ia belajar dari pengalaman, sering kali dengan cara yang menyakitkan.
Minimnya ruang belajar dan diskusi tentang peran ayah membuat banyak lelaki merasa asing dalam rumahnya sendiri. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi anak yang tantrum, bagaimana mendampingi anak remaja yang gelisah, atau bagaimana membangun komunikasi yang sehat. Ketidaktahuan ini sering kali berujung pada kekerasan verbal, emosional, bahkan fisik.
Ketidakpedulian terhadap generasi juga menjadi masalah serius. Banyak ayah yang tidak memiliki visi dalam membesarkan anak. Mereka tidak merancang masa depan anak-anaknya, tidak menanamkan nilai, dan tidak membangun karakter. Anak-anak tumbuh seperti benih yang dilempar ke tanah tanpa arah, tanpa pupuk, dan tanpa cahaya.
Stres yang dialami ayah di luar rumah sering kali terbawa ke dalam rumah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat istirahat dan pemulihan justru menjadi medan perang emosional. Anak-anak menjadi korban luapan amarah, frustrasi, dan kekecewaan yang tidak tersalurkan. Ini menciptakan siklus luka yang berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kehidupan yang kompleks dan penuh tekanan membuat banyak ayah mengalami kejatuhan mental. Mereka kehilangan semangat, harapan, dan daya juang. Beban hidup yang berlipat ganda tidak sebanding dengan kapasitas fisik dan psikis yang dimiliki. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin ayah mampu membentuk generasi yang tangguh?
Namun, Islam memberikan dua pilar utama untuk membangun ketangguhan mental ayah: takwa dan perkataan yang benar. Takwa bukan sekadar ritual, melainkan kesadaran spiritual yang membentuk cara pandang terhadap hidup. Ayah yang bertakwa memiliki orientasi hidup yang jelas, tidak mudah goyah oleh tekanan duniawi, dan mampu menjaga integritas dalam pengasuhan.
Perkataan yang benar menjadi penopang kedua. Dalam Islam, kata-kata bukan sekadar bunyi, tetapi cerminan hati dan pikiran. Ayah yang terbiasa berkata benar akan terdorong untuk bertindak benar. Ia akan membangun komunikasi yang sehat, membimbing anak dengan hikmah, dan menciptakan suasana rumah yang penuh ketenangan.
Perkataan yang benar juga berarti menyandarkan diri pada kalamullah, sabda Rasul, dan hikmah para ulama. Ini menjadi sumber kekuatan spiritual dan intelektual yang membentuk karakter ayah sebagai pemimpin keluarga. Ia tidak hanya menjadi pencari nafkah, tetapi juga pembimbing jiwa dan penjaga akhlak anak-anaknya.
Dalam konteks kapitalisme sekuler yang mengukur nilai manusia dari uang dan produktivitas, ayah sering kali kehilangan identitas spiritualnya. Ia menjadi roda dalam mesin ekonomi, bukan lagi pemimpin keluarga yang utuh. Takwa dan perkataan yang benar menjadi benteng terakhir untuk menjaga martabat dan peran ayah dalam dunia pengasuhan.
Opini ini bukan sekadar refleksi, tetapi seruan untuk membangun ekosistem yang mendukung kesehatan mental ayah. Negara, masyarakat, dan institusi pendidikan harus membuka ruang bagi lelaki untuk belajar, berdiskusi, dan tumbuh sebagai ayah yang sehat dan tangguh. Tanpa itu, kita hanya akan melahirkan generasi yang kehilangan akar dan arah.
Kesehatan mental ayah bukan isu pribadi, tetapi isu publik. Ia menentukan kualitas generasi, stabilitas keluarga, dan masa depan bangsa. Jika kita ingin membangun masyarakat yang kuat, maka kita harus mulai dari rumah, dari ayah yang sehat, sadar, dan siap membimbing anak-anaknya menuju masa depan yang lebih baik.
Wallahu a’lam…
Nurhalim,