Disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.,
Indonesiainvestigasi.com
KELANGKAAN Bio Solar bersubsidi di Aceh bukan sekadar soal logistik atau kuota yang menipis. Ini adalah cerminan dari tata kelola yang belum sepenuhnya berpihak pada keadilan sosial, dan lebih jauh lagi, menguji sejauh mana etika profetik sebagai nilai transenden dalam pengelolaan publik dihadirkan dalam kebijakan energi kita. Ketika truk-truk pengangkut hasil bumi terhenti, nelayan tak bisa melaut, dan masyarakat kecil antri berjam-jam di SPBU, kita sedang menyaksikan bukan hanya krisis bahan bakar, tetapi juga krisis empati.
Etika profetik, sebagaimana diwariskan oleh Nabi Muhammad ﷺ, “menekankan tiga pilar utama: pembebasan (liberasi), humanisasi, dan transendensi”. Dalam konteks kelangkaan BBM, pembebasan berarti membebaskan masyarakat dari ketidakadilan struktural yang membuat akses terhadap energi menjadi hak istimewa, bukan hak dasar. Humanisasi menuntut agar kebijakan energi tidak hanya sekedar angka dan kuota, tetapi menyentuh kebutuhan riil manusia. Sedangkan transendensi mengingatkan bahwa pengelolaan sumber daya harus berorientasi pada amanah dan tanggung jawab kepada Allah dan umat.
Sayangnya, distribusi Bio Solar bersubsidi di Aceh kerap tidak tepat sasaran. Modifikasi tangki kendaraan, praktik penimbunan, dan lemahnya pengawasan menunjukkan bahwa sistem belum sepenuhnya transparan dan akuntabel. Dalam etika profetik, ini adalah bentuk khianat terhadap amanah publik. Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak beriman seseorang yang tidak amanah.” Maka, kelangkaan ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal moral.
Pemerintah pusat memang telah mengurangi kuota Bio Solar untuk Aceh, namun apakah keputusan itu didasarkan pada data kebutuhan riil masyarakat? Ataukah sekadar penyesuaian fiskal tanpa mempertimbangkan dampak sosial? Etika profetik menuntut kebijakan yang berbasis pada mashlahah (kemaslahatan) dan tidak menimbulkan madharat (kerugian) bagi yang lemah. Dalam hal ini, pengurangan kuota tanpa mitigasi yang sesuai adalah bentuk pengabaian terhadap prinsip keadilan distributif.
Di sisi lain, masyarakat Aceh juga perlu bercermin. Ketika sebagian pihak menyalahgunakan subsidi untuk keuntungan pribadi, kita sedang mengikis nilai solidaritas sosial. Etika profetik mengajarkan bahwa hak atas subsidi bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal kejujuran dan tanggung jawab kolektif. Dalam q,s Al-Hujurat ayat 13, “Allah menyerukan persaudaraan dan saling mengenal dalam kebaikan, bukan saling menindas dalam kelangkaan”.
Kelangkaan BBM juga memperlihatkan betapa lemahnya koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat. Padahal, dalam sistem otonomi khusus Aceh, semestinya ada ruang-ruang untuk memperjuangkan kebutuhan lokal secara lebih mandiri. Etika profetik mendorong kepemimpinan yang aktif, bukan pasif; yang membela rakyat, bukan sekadar menunggu instruksi. Kepemimpinan seperti ini adalah refleksi dari q.s Ali Imran ayat 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan…”
Narasi kelangkaan BBM bersubsidi juga harus dilihat dalam kerangka keadilan ekologis. Bio Solar adalah bagian dari transisi energi yang lebih ramah lingkungan. Namun jika distribusinya tidak adil, maka transisi ini hanya akan memperlebar kesenjangan. Etika profetik menuntut bahwa perubahan harus inklusif, tidak hanya menguntungkan elite atau korporasi, tetapi juga petani, nelayan, dan sopir angkutan umum.
Dalam konteks Aceh, kelangkaan BBM bersubsidi juga menyentuh dimensi spiritual masyarakat. Ketika antrian panjang di SPBU menjadi rutinitas, kita sedang diuji dalam kesabaran dan solidaritas. Namun kesabaran bukan berarti pasrah. Etika profetik mengajarkan bahwa sabar harus dibarengi dengan ikhtiar dan advokasi. “Rasulullah ﷺ tidak diam melihat ketidakadilan, beliau bergerak, menyuarakan, dan memperbaiki.”
Kita juga perlu menyoroti peran media dan narasi publik. Apakah kelangkaan ini diberitakan dengan jujur dan mendalam, atau sekadar menjadi headline sesaat? Etika profetik dalam komunikasi menuntut kejelasan, kejujuran, dan keberpihakan pada yang tertindas. Narasi publik harus menjadi alat edukasi dan mobilisasi, bukan sekedar bahan konsumtif.
Solusi jangka pendek seperti penambahan kuota memang penting, tetapi tidak cukup. Kita butuh reformasi sistem distribusi, audit transparan, dan pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan. Etika profetik mendorong partisipasi aktif umat dalam mengawal kebijakan publik. Dalam hal ini, Dewan Energi Mahasiswa, ormas, dan tokoh masyarakat harus diberi ruang untuk berkontribusi.
Pemerintah daerah juga perlu membangun sistem data kebutuhan energi yang akurat dan dinamis. Tanpa data, kebijakan hanya akan bersifat reaktif. Etika profetik menuntut perencanaan yang berbasis ilmu dan hikmah, bukan sekadar respons terhadap tekanan politik atau ekonomi.
Kelangkaan BBM bersubsidi di Aceh adalah panggilan untuk memperbaiki sistem, bukan sekadar memperbanyak pasokan. Ia adalah ujian bagi semua pihak: pemerintah, masyarakat, dan pemimpin lokal. Apakah kita akan menjawabnya dengan etika profetik, atau membiarkan kelangkaan menjadi rutinitas yang membunuh segala harapan?
Dalam menghadapi krisis ini, kita perlu menghidupkan kembali semangat kenabian dalam tata kelola: jujur, adil, empatik, dan berpihak pada yang lemah. Kelangkaan Bio Solar adalah momentum untuk membangun sistem energi yang tidak hanya efisien, tetapi juga beradab.
Pada kesimpulannya, kita harus bertanya: apakah kita ingin Aceh menjadi contoh tata kelola energi yang beretika, atau sekadar menjadi korban dari sistem yang abai? Jawabannya ada pada keberanian kita untuk menata ulang, dengan cahaya profetik sebagai kompas yang akan memberi arah.
Nurhalim.,