Opini: “Kepemimpinan yang Subtantif: Menakar Hak dan Kewajiban Pejabat dalam Mewujudkan Keadilan Publik

 

Ditulis/disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim,

 

Bacaan Lainnya

Indonesiainvestigasi.com

DALAM sistem demokrasi yang sehat, relasi antara pemimpin dan rakyat tidak hanya dibangun melalui proses pemilihan umum (PEMILU), tetapi melalui pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban secara nyata. Kepemimpinan bukan sekadar jabatan administratif, melainkan sebuah amanah sosial yang harus dijalankan dengan integritas dan keberpihakan. Ketika masyarakat tidak merasakan kehadiran pemimpin dalam kehidupan sehari-hari, maka demokrasi telah kehilangan substansinya. Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang subtantif hadir dalam kebijakan, memberikan pelayanan dan perlindungan hak-hak dasar rakyat.

 

Hak-hak dasar masyarakat Indonesia sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi, mulai dari hak hidup, hak beragama, hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hingga hak atas lingkungan yang sehat. Namun, dalam praktiknya, banyak dari hak-hak ini belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat, terutama di daerah-daerah yang memiliki sejarah dan karakter khusus seperti provinsi Aceh yang telah damai selama dua dekade. Secara nyata masih terjadinya ketimpangan akses, birokrasi yang lamban dan kebijakan yang tidak kontekstual telah menjadi penghalang utama dalam mewujudkan keadilan publik.

 

Di sisi lain, pejabat publik memiliki kewajiban yang melekat pada jabatan mereka. Kewajiban untuk melayani, mendengar dan bertindak berdasarkan kebutuhan rakyat. Dalam teori “Public Service Motivation” (Perry & Wise, 1990), pejabat yang memiliki motivasi pelayanan publik cenderung lebih responsif dan etis dalam menjalankan tugasnya. Namun, jika motivasi tersebut digantikan oleh kepentingan pribadi atau kelompok, maka jabatan berubah menjadi alat kekuasaan, bukan sebagai sarana pengabdian.

 

Kepemimpinan yang subtantif bukan hanya soal kehadiran secara fisik, tetapi bagaimana memastikan kebijakan tersebut dapat berdampak. Ketika seorang pemimpin menetapkan program pendidikan yang inklusif, membuka akses kesehatan yang merata dan memperkuat ekonomi lokal, maka masyarakat dapat merasakan langsung manfaat dari kepemimpinan tersebut. Sebaliknya, jika kebijakan hanya bersifat seremonial atau elitis, maka rakyat akan merasa jauh dari pemimpinnya.

 

Dalam konteks masyarakat Aceh, kepercayaan terhadap politik nasional sangat dipengaruhi oleh sejauh mana hak-hak masyarakat dipenuhi secara konkret. Otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh seharusnya menjadi instrumen untuk memperkuat pelayanan publik, bukan sekadar simbol politik. Ketika regulasi seperti Qanun dan UU Pemerintahan Aceh tidak dijalankan secara konsisten, maka masyarakat akan merasa bahwa hak-hak mereka diabaikan.

 

Teori “Social Contract” (Jean-Jacques Rousseau, 1762) menegaskan bahwa negara dan rakyat terikat dalam perjanjian moral: rakyat memberikan mandat dan negara memberikan perlindungan serta pelayanan. Jika salah satu pihak mengingkari perjanjian ini, maka legitimasi kekuasaan pun dipertanyakan. Dalam hal ini, pejabat publik harus menyadari bahwa jabatan mereka adalah hasil dari kepercayaan rakyat, bukan hak prerogatif pribadi.

 

Kepemimpinan yang subtantif juga menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana anggaran digunakan, bagaimana keputusan diambil, dan bagaimana kebijakan yang diambil dapat berdampak pada kehidupan mereka. Teori “Good Governance” (UNDP, 1997) menekankan pentingnya partisipasi, transparansi dan akuntabilitas sebagai pilar utama pemerintahan yang efektif. Tanpa itu, kepemimpinan hanya akan menjadi formalitas administratif.

 

Selain itu, pejabat publik harus mampu membangun komunikasi yang terbuka dan empatik. Mereka harus hadir dalam dialog publik, mendengar aspirasi masyarakat dan menjawab dengan solusi yang realistis. Komunikasi yang baik bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam hal kejujuran dan keberanian untuk mengakui kekurangan serta berkomitmen untuk memperbaikinya.

 

Dalam praktiknya, banyak pejabat yang lebih sibuk menjaga citra daripada menjalankan fungsinya. Mereka hadir di media, tetapi absen di lapangan. Mereka bicara tentang rakyat, tetapi tidak hidup bersama rakyat. Sehingga kepemimpinan seperti ini menciptakan jarak sosial yang semakin lebar antara pemerintah dan rakyat.

 

Untuk membalikkan keadaan yang terjadi, dibutuhkan reformasi etika dalam kepemimpinan. “Pejabat publik harus menjalankan tugad serta fungsi jabatan sebagai sebuah amanah, bukan sebagai privilese”. Mereka harus menunjukkan keteladanan, kesederhanaan dan keberpihakan yang nyata. Ketika pemimpin hidup sederhana, bekerja keras dan terbuka terhadap kritik, maka rakyat akan merasa dihargai dan dilindungi.

 

Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga kualitas kepemimpinan. Partisipasi aktif, pengawasan publik dan mendapatkan pendidikan politik harus diperkuat agar rakyat tidak hanya menjadi objek dalam suatu kebijakan, tetapi menjadi subjek dalam perubahan. Demokrasi yang sehat membutuhkan rakyat yang benar-benar sadar terhadap hak dan kewajiban, serta mendapatkan pemimpin yang siap melayani.

 

Dalam konteks nasional, membangun kepercayaan masyarakat terhadap politik membutuhkan konsistensi antara janji dan tindakan. Pemerintah pusat harus menunjukkan komitmen nyata terhadap pembangunan yang berkeadilan, terutama di daerah-daerah yang memiliki karakter khusus seperti Aceh. Ketika masyarakat merasakan manfaat langsung dari kebijakan nasional, maka kepercayaan pun akan semakin bertumbuh.

 

Pada kesimpulannya, kepemimpinan yang subtantif adalah kepemimpinan yang hidup di dalam hati rakyat. Ia tidak dibangun dari slogan-slogan, tetapi lahir dari tindakan nyata. Ia tidak hadir di atas panggung, tetapi ia nyata di tengah masyarakat. Dan ia tidak hanya bicara tentang hak, tetapi bagaiman menjalankan kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab.

 

Jika hal ini dilakukan secara konsisten, maka Indonesia akan memiliki sistem politik yang tidak hanya demokratis secara prosedural, tetapi juga adil secara substansial. Kepemimpinan yang seperti ini akan menjadi fondasi utama dalam membangun bangsa yang kuat, sejahtera dan bermartabat. Aceh, sebagai bagian penting dari Indonesia juga akan semakin percaya dan kokoh dalam relasi nasional, karena hak-haknya tetap dijaga dan kewajiban pejabatnya dijalankan dengan sepenuh hati.

 

Nurhalim..

Pos terkait