Opini: “Blang Padang: Pertaruhan Martabat Aceh di Tangan Sang Gubernur”

Disusun Oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI, Pengamat/pemerhati

 

Indonesiainvestigasi.com

 

Bacaan Lainnya

Dalam sejarah panjang Aceh sebagai Serambi Mekkah, tanah bukan hanya lahan fisik, tapi simbol identitas dan spiritualitas. Blang Padang, sebidang tanah luas yang terletak di jantung Banda Aceh, memegang makna historis dan religius mendalam bagi rakyat Aceh. Kawasan ini dulunya merupakan bagian tak terpisahkan dari Masjid Raya Baiturrahman, ikon perlawanan dan kebanggaan Aceh. Namun kini, statusnya sebagai aset milik negara di bawah pengelolaan pemerintah pusat menciptakan jarak emosional dan administratif antara masyarakat dan tanah yang mereka anggap suci.

 

Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Muallem, dihadapkan pada satu ujian politik yang akan menguji komitmennya terhadap aspirasi kolektif rakyat: mengembalikan Blang Padang sebagai aset Masjid Raya Baiturrahman. Ini bukan sekadar manuver administratif, melainkan sebuah perjuangan simbolik untuk mengembalikan kendali kultural dan spiritual ke tangan rakyat Aceh. Dengan otonomi khusus yang melekat pada Aceh, Muallem memiliki dasar kuat untuk melobi Presiden agar mengeluarkan kebijakan afirmatif yang mengakomodasi kepemilikan tanah itu oleh masjid.

 

Secara politis, keberhasilan lobi ini akan menandai kemenangan besar dalam upaya memperkuat keistimewaan Aceh. Di saat berbagai daerah berjuang mendapatkan perhatian pemerintah pusat, Aceh sudah memiliki modal hukum dan sejarah untuk memperjuangkan hak-haknya. Muallem harus memanfaatkan momentum ini untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan daerah mampu menjembatani suara masyarakat dengan telinga kekuasaan nasional. Tidak ada bentuk diplomasi yang lebih elegan daripada diplomasi yang berpijak pada nilai dan legitimasi rakyat.

 

Kritik terhadap upaya ini pasti akan muncul—beberapa akan mengatakan bahwa tanah negara seharusnya tidak dialihfungsikan menjadi aset keagamaan. Namun analisis mendalam menunjukkan bahwa Blang Padang bukan sembarang tanah kosong. Ia adalah ruang memori kolektif masyarakat Aceh, tempat peristiwa besar bersejarah berlangsung, dari kegiatan keagamaan hingga upacara kenegaraan. Dengan menjadikannya kembali sebagai bagian dari Masjid Raya, kita tidak menghapus nilai kebangsaan, tapi merayakan harmoni antara spiritualitas lokal dan identitas nasional.

 

Strategi lobi Muallem harus cerdas dan berlapis. Ia harus membangun koalisi politik dengan tokoh-tokoh nasional, melibatkan ulama dan akademisi untuk menegaskan urgensi kultural serta menyiapkan proposal hukum yang detail dan konstitusional. Upaya ini tak cukup hanya bermodal niat baik—perlu kerja teknokratik dan strategi komunikasi publik yang menggugah empati nasional.

 

Di sisi lain, masyarakat Aceh sendiri perlu membangun konsensus. Jangan sampai gerakan ini terjebak dalam dinamika sektarian atau dipolitisasi oleh kepentingan elit. Wacana pengembalian Blang Padang ke Masjid Raya harus lahir dari ruang kebersamaan, dari pengajian kampung hingga ruang kuliah dan media massa. Dukungan dari akar rumput akan memberi legitimasi moral yang tidak bisa diabaikan oleh Presiden sekalipun.

 

Jika Muallem berhasil melobi Presiden dan merealisasikan pengembalian status tanah Blang Padang, maka namanya akan tercatat dalam sejarah Aceh sebagai pemimpin yang bukan hanya mengelola anggaran, tapi juga mengembalikan martabat. Sebaliknya, jika ia gagal, bukan hanya peluang politik yang hilang, tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan lobi daerah.

 

Blang Padang adalah lebih dari sekadar sebidang tanah—ia adalah refleksi hubungan antara rakyat, pemimpin, dan spiritualitas. Sudah saatnya Aceh, melalui figur seperti Muallem, menegaskan kembali bahwa hak atas ruang yang bermakna secara historis dan religius tidak boleh dikompromikan hanya karena kendala administratif.

 

Momen ini adalah undangan bagi kita semua untuk bertanya: siapa yang berhak menentukan makna sebuah tempat? Pemerintah pusat atau masyarakat yang hidup dan berdoa di atasnya? Jika jawabannya adalah yang kedua, maka Muallem harus menjadikannya kenyataan, bukan sekadar wacana.

Pos terkait