Indonesia Investigasi
PADANG, SUMBAR — Dugaan praktik pungutan liar (pungli) mencoreng wajah birokrasi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Sorotan kali ini mengarah ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumbar, yang disebut-sebut menjalankan praktik pemotongan uang perjalanan dinas Aparatur Sipil Negara (ASN), iuran wajib untuk kepentingan pejabat, hingga pengondisian proyek ke perusahaan yang diduga memiliki hubungan keluarga dengan sang Kepala Dinas.
Berdasarkan laporan dan keterangan dari sejumlah sumber terpercaya, dugaan praktik pungli di tubuh DKP Sumbar berlangsung sistematis dan sudah lama dirasakan para pegawai. Skema pungutan itu diduga berjalan melalui beberapa mekanisme, di antaranya:
1. Perjalanan Dinas Fiktif dan Setoran Wajib HUT RI
Pada peringatan HUT RI ke-78 tahun 2023, ASN DKP Sumbar disebut-sebut diperintahkan melakukan perjalanan dinas fiktif. Uang perjalanan dinas yang diterima tidak dinikmati pegawai, melainkan “disetorkan” kembali ke sekretariat dengan nominal antara Rp500 ribu hingga Rp800 ribu. Dalihnya, untuk sumbangan kegiatan perayaan HUT RI di Padang Pariaman.
2. Pemotongan 10 Persen Perjalanan Dinas
Setiap kali ASN melakukan perjalanan dinas, uang yang diterima tidak utuh. Ada potongan 10 persen dengan alasan untuk kegiatan sosial. Ironisnya, meskipun sudah dipotong, ketika ada kegiatan sosial seperti pernikahan, sakit, atau musibah duka, ASN masih tetap diwajibkan membayar iuran tambahan.
3. Iuran “Penas Tani” dan Dugaan Suap Penegak Hukum
Dalam kasus pelaksanaan Penas Tani, pejabat eselon 3 dan 4 disebut-sebut diwajibkan menyetor uang dengan alasan untuk “melancarkan urusan” Kadis di Kejaksaan Tinggi Sumbar dan Polda Sumbar. Praktik iuran seperti ini dinilai sudah di luar kewajaran dan kental dengan dugaan penyalahgunaan jabatan.
4. Pengkondisian Proyek ke Perusahaan Keluarga
Hampir seluruh kegiatan pengadaan di DKP Sumbar diduga diarahkan ke dua perusahaan: CV Multi Taman Perkasa dan CV Berkah Jaya. Kedua perusahaan tersebut dikaitkan dengan anak dan keponakan Kepala Dinas, sehingga menimbulkan dugaan adanya konflik kepentingan dan praktik monopoli proyek.
Kepala DKP Sumbar, Dr. Ir. Reti Wafda, M.TP, ketika dikonfirmasi melalui WhatsApp pada hari minggu 07/09/2025, tidak menampik adanya pemotongan uang perjalanan dinas sebesar 10 persen. Namun ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut merupakan hasil kesepakatan internal antara pejabat struktural dan fungsional.
“Masalah pemotongan 10 persen itu sudah disepakati. Lima persen dipegang masing-masing eselon 3, lima persen untuk sosial dinas. Penggunaannya jelas, misalnya untuk pegawai pensiun, sakit, meninggal, atau pesta keluarga. Semua ada catatan,” ujar Reti.
Reti bahkan mengaku pernah menebus potongan staf dengan uang pribadinya. “Ada 13 orang staf yang dipotong lebih dari kesepakatan. Saya kembalikan dengan dana pribadi. Itu bisa dicek,” tambahnya.
Terkait tuduhan pengkondisian proyek, Reti menyatakan bahwa CV Multi Taman Perkasa bukan milik keluarganya, melainkan perusahaan temannya, dan hanya sekali ikut proyek pada tahun lalu. Sementara soal iuran Penas Tani, ia menyebut bahwa dana tersebut digunakan untuk menutup biaya kegiatan yang tidak bisa dicairkan dari APBD, bukan untuk penegak hukum.
Pernyataan sang Kadis rupanya dibantah keras oleh sumber terpercaya yang mengetahui detail praktik pungutan tersebut. Menurutnya, meski secara formal 5 persen potongan dipegang bidang, kenyataannya uang itu hampir selalu diminta kembali oleh sekretariat dengan berbagai alasan, mulai dari konsumsi tamu hingga biaya operasional lain.
“Kalau ada pegawai sakit atau pesta, kami tetap diminta patungan lagi. Jadi potongan 5 persen itu hanya akal-akalan. Faktanya, sebagian besar uang habis untuk kebutuhan sekretariat,” ungkap sumber.
Ia bahkan menyebut, pada 2024 lalu, terkumpul dana taktis sekitar Rp90 juta, namun hingga kini tidak pernah ada laporan pertanggungjawaban yang jelas.
“Tidak ada transparansi sama sekali. Uang itu entah ke mana, padahal jelas-jelas berasal dari pemotongan hak pegawai,” tegasnya.
Jika benar adanya, pola pemotongan perjalanan dinas, iuran wajib untuk urusan pribadi pejabat, hingga pengondisian proyek ke perusahaan keluarga mengarah pada pungli yang terstruktur dan sistematis. Praktik ini bukan saja menyalahi aturan keuangan negara, tetapi juga mencederai prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.
Dalam kacamata hukum, perbuatan tersebut berpotensi melanggar:
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pasal mengenai penyalahgunaan jabatan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
UU ASN No. 5 Tahun 2014, terkait larangan bagi ASN melakukan pungutan tidak sah.
Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang menegaskan larangan konflik kepentingan.
Skandal di DKP Sumbar ini menjadi alarm keras bagi Gubernur Sumbar dan aparat penegak hukum. Jika dibiarkan, praktik seperti ini tidak hanya merugikan ASN, tetapi juga merusak kredibilitas birokrasi daerah dan menggerogoti kepercayaan publik.
Masyarakat kini menunggu langkah tegas dari Kejaksaan Tinggi Sumbar, Polda Sumbar, dan Inspektorat Provinsi, untuk mengusut dugaan pungli yang sudah mengakar di DKP Sumbar. Transparansi dan akuntabilitas harus ditegakkan, sebelum kerusakan semakin meluas.
( Red )
Sumber : Sinyalgonews.com