Disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,
Indonesiainvestigasi.com
ACEH sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan sistem keuangan berbasis syariah secara menyeluruh melalui Qanun LKS No. 11 Tahun 2018 haingga kini masih terus menghadapi tantangan yang kompleks dalam penerapan akad murabahah secara prinsip seharusnya menjamin transaksi yang transparan dan bebas dari unsur riba, masih menemui berbagai kendala dalam praktiknya.
Salah satu persoalan utama adalah masih banyaknya masyarakat, nasabah, bahkan pegawai di sektor keuangan syariah yang belum sepenuhnya memahami konsep murabahah. Akad ini menuntut transparansi harga pokok dan margin keuntungan, namun dalam praktiknya, masih ditemukan perbedaan interpretasi yang menyebabkan transaksi lebih menyerupai sistem kredit konvensional. Akibatnya, sebagian pihak mempertanyakan apakah LKS benar-benar menjalankan prinsip murabahah secara ideal atau tidak?.
Selain itu, regulasi yang tertuang dalam Qanun LKS No. 11 Tahun 2018 belum sepenuhnya menutup celah bagi praktik yang menyerupai sistem kredit berbasis bunga. Beberapa lembaga masih menerapkan sistem pembayaran cicilan dengan denda keterlambatan yang dalam beberapa kasus dianggap menyerupai riba. Hal ini menciptakan polemik di masyarakat yang seharusnya mendapatkan jaminan bahwa, seluruh transaksi yang terjadi benar-benar sesuai dengan prinsip syariah, namun sepertinya jauh dari harapan.
Kelemahan lain dari Qanun LKS adalah minimnya pengawasan yang ketat terhadap implementasi akad-akad syariah dalam operasional perbankan dan lembaga keuangan. Kurangnya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat menyebabkan masih banyak nasabah yang beranggapan bahwa, sistem di bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank konvensional. Ketidakpahaman ini memicu skeptisisme terhadap efektivitas penerapan ekonomi Islam secara menyeluruh di Aceh.
Selain itu, tantangan dalam menyediakan produk keuangan syariah yang kompetitif dan tetap menguntungkan bagi lembaga keuangan menjadi dilema tersendiri. Banyak LKS akhirnya mengadopsi skema yang tidak jauh berbeda dengan praktik kredit konvensional karena tuntutan pasar dan kebutuhan operasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen lembaga keuangan syariah dalam mempertahankan idealisme akad murabahah.
Di sisi lain, meskipun Qanun LKS telah menjadi dasar hukum yang kuat bagi implementasi keuangan syariah di Aceh, masih terdapat hambatan dalam integrasi sistem dengan ekosistem ekonomi yang lebih luas. Transisi dari sistem konvensional ke sistem syariah memerlukan waktu dan proses yang tidak singkat. Tanpa perbaikan signifikan dalam regulasi dan penerapan teknis, maka idealisme keuangan syariah di Aceh akan sulit terwujud sepenuhnya.
Untuk mengatasi persoalan ini, perlu ada langkah konkret dalam meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap konsep murabahah dan prinsip keuangan syariah lainnya. Edukasi harus diberikan secara lebih intensif kepada nasabah dan pegawai LKS agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan akad. Selain itu, pemerintah perlu memperketat pengawasan dan memastikan bahwa praktik LKS benar-benar sesuai dengan nilai-nilai Islam, bukan sekadar label syariah semata.
Tulisan ini bukan hanya kritik terhadap sistem yang ada, tetapi juga sebagai refleksi agar sistem keuangan syariah di Aceh benar-benar berjalan sesuai dengan prinsip yang telah ditetapkan. Tanpa kesadaran kolektif dan perbaikan menyeluruh, Qanun LKS berisiko menjadi sekadar regulasi yang indah di atas kertas namun lemah dalam implementasi.
Nurhalim