Indonesia Investigasi
Jakarta – Sebetulnya Indonesia sedang gelap gulita atau terang benderang?
Ya itu tergantung cara pandangnya. Bagi kaum minim literasi tentu semuanya gelap gulita, walau berada ditengah siang hari bolong. Tapi bagi yang sudah baca teliti Instruksi Presiden No 1 Thn 2025 tentang :
“Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN & APBD Tahun Anggaran 2025” semuanya terang benderang.
Instruksi Presiden No 1/2025 ini cuma 6 halaman, itu pun dua halaman (pertama dan terakhir) cuma halaman judul dan terakhir halaman tanda tangan. Jadi cuma empat halaman saja yang perlu diteliti dan didiskusikan.
Bagi para mahasiswa dan kaum melek huruf mestinya tidak terlalu berat untuk membacanya dengan teliti. Lalu mendiskusikannya di ruang perpustakaan secara mendalam, menilik intensi serta implikasinya.
Artinya, para mahasiswa bisa menjadikan Inpres yang cuma enam halaman ini sebagai suatu wacana intelektual, khas mahasiswa yang kritis dan cerdas. Bukan dengan aksi turun ke jalan, bakar ban, bikin kegaduhan. Apa lagi kalau cuma diperalat atau ditunggangi pihak-pihak yang sedang bermasalah dengan pemerintah.
Bukan asal demo sekedar untuk tampil gagah-gagahan. Belajarlah dari Soe Hok Gie yang mau berdemo setelah lebih dulu mempelajari tema (alasannya) dalam lingkaran studi atau kelompok diskusinya. Pembicaraan itu dijadikannya diskursus intelektual di kalangan kampus untuk kemudian ia tulis (artinya jadi pikiran yang terstruktur) dalam berbagai artikel kritis yang kemudian ia publikasikan.
Baru setelah itu, kalau memang perlu turun ke jalan berdemo, menggelar parlemen jalanan. Bukan lantaran ada sponsor atau korlap yang bagi-bagi uang jajan Rp 40 ribu per orang lalu teriak-teriak di jalan, bakar ban, bikin macet dan bikin susah rakyat yang lagi giat mencari sesuap nasi di tengah siang hari bolong.
Kalau begitu kejadiannya, cobalah tilik siapa yang jadi biang keladi kegaduhan sosial ini. Jadilah kritis dengan bersikap adil sejak dalam pikiran. Jangan mau diperalat oleh mereka yang masih menyimpan dendam pasca kalah pilpres.
Soal Pendidikan, ini masih menjadi prioritas pemerintah, dan catat ya, tidak ada pemotongan anggaran atau pemangkasan apapun. Uang Kuliah Tunggal (UKT) pun tidak ada kenaikan. UKT ini adalah dana kuliah yang harus dibayarkan mahasiswa per semester, dengan besaran yang berbeda-beda berdasarkan kesanggupan ekonomi orang tua atau walinya.
Lalu aspek kesehatan rakyat masih tetap menjadi agenda penting negara. Tambah lagi program cek kesehatan gratis dihadirkan, dimanfaatkan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Sedangkan anggaran yang dialihkan alokasinya dimaksudkan untuk menghindari kebocoran, khan lebih baik dana itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat.
Efisiensi dari alat tulis kantor (ATK) bisa mencapai Rp 40 triliun, khan lebih baik dimanfaatkan untuk membeli gabah petani. Dengan demikian bisa menyelamatkan jutaan petani di seluruh Indonesia.
Bocornya anggaran negara kerap berbentuk “bocor-halus”. Ambil contoh untuk pemberantasan kemiskinan maka pejabat pemerintah mendesain program “studi banding” ke Australia dan negara-negara maju lainnya.
Setelah atau sebelum itu, dilakukanlah “focus group discussion” soal kemiskinan oleh Kementerian atau Lembaga ini dan itu di hotel bintang empat atau lima. Kemudian dengan semangat empat lima melahirkan laporan-laporan diskusi setiap semester yang akhirnya cuma ditumpuk di ruang-ruang arsip Kementerian atau Lembaga.
Berkas-berkas itu tidak dibaca atau ditindak lanjuti, hanya sekedar jadi laporan bahwa rencana pengentasan kemiskinan sudah dilaksanakan di ruang pertemuan mewah hotel bintang empat atau lima.
Di penghujung tahun tumpukan kertas itu pun dijual di pasar loak untuk jadi pembungkus gorengan yang kemudian dikonsumsi rakyat miskin.
Begitulah sirkulasi “pengentasan kemiskinan” sudah direncanakan dan didiskusikan terus dalam sirkuit wacana. Seperti roda hamster yang berputar-putar tapi tidak kemana-mana.
Di tengah residu pandemi global yang terjadi, perekonomian Indonesia alhamdulillah masih berada di atas rata-rata capaian ekonomi dunia. Semua negara sedang konsentrasi untuk agenda domestiknya masing-masing.
Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump sekarang ini dengan agenda “America First”-nya boleh saja dibilang berbau chauvinistic oleh beberapa kalangan. Tapi ya itulah kenyataan yang sedang terjadi di muka kita. Kita pun di tengah peta geo-politik global yang terus bergerak dinamis mesti bersikap “Indonesia First”, mengapa tidak?
Program domestikasi (atau nasionalisasi) Freeport yang sekarang mayoritas kepemilikannya ada di tangan Indonesia, lalu hilirisasi berbagai industri, akan terus dilanjutkan. Presiden Prabowo Subianto sudah mengingatkan agar kita jangan lengah bahwa 40 persen jalur perdagangan dunia itu melewati wilayah Indonesia.
Tugas kita untuk bisa mengapitalisasinya menjadi kesempatan (opportunity) dan kekuatan (strength). Posisi geo-strategis yang menghubungkan dua samudera dan dua benua adalah faktisitas dan sekaligus berkat. Tergantung bagaimana kita bersikap.
Dengan kenyataan Indonesia yang bakal menuai bonus demografi di tahun 2030 sampai 2045 nanti pemerintah mau tidak mau mesti menetapkan skala prioritas (pareto principle) dalam menentukan kebijakan yang bisa melepaskan bangsa dari perangkap negara berpenghasilan menengah. It’s now or never, peluang emas ini tidak bakal terulang dalam seratus tahun lagi.
Sekedar mengingatkan, dulu dipenghujung tahun 1993, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo (ayah dari Presiden Prabowo Subianto) pernah memberikan caveat (peringatan dini), bahwa anggaran negara bocor sekitar 30 persen. Ini bukan main-main.
Beliau pun kasih rasionalisasinya. Angka sebesar itu diperoleh dari ICOR Indonesia yang pada waktu itu sebesar 5 sementara ICOR rata-rata negara ASEAN sekitar 3,5. ICOR adalah Incremental Capital Output Ratio, atau rasio yang menunjukkan perbandingan antara tambahan investasi dengan tambahan output.
ICOR merupakan indikator ekonomi makro yang menggambarkan efisiensi perekonomian suatu daerah. Waktu itu (tahun 1993) selisih ICOR Indonesia dan rata-rata negara ASEAN adalah 1,5. Kalau dibagi 5 kemudian dikalikan 100 persen hasilnya ya 30 persen.
Waktu itu jadi heboh, tadinya Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo bilang anggaran nagara bocor, kemudian direvisi jadi bukan bocor tapi “inefisien” alias “tidak ekonomis” atau “salah kelola” sebesar 30 persen. Bahasanya “disopanisir”, dari pada dibilang anggaran negara “dikorupsi” atau “bocor” sebanyak 30 persen khan lebih sopan kalau dibilang “inefisien” sebanyak itu.
Anggaran kita sekarang (2025) sekitar Rp 3600 triliun, program efisiensi Prabowo Subianto tahap pertama kemarin ini berhasil menyisir sekitar Rp 306 trilun atau sekitar 8,5 persen efisiensi.
Kabarnya program efisiensi ini bakal ada tahap kedua sampai mencapai Rp 750 triliun rupiah. Kalau dibandingkan dengan APBN yang Rp 3600 trilun, maka nilai efisiensi Rp 750 trilun itu adalah sekitar 20,8 persennya.
Apakah ada tahap ketiganya sehingga efisiensi anggaran mencapai 30 persen seperti caveat dari Prof Soemitro Djojohadikoesoemo dulu? Artinya penggunaan anggaran negara bisa dikatakan tepat sasaran.
Jadi program efisiensi Prabowo Subianto lewat Inpres No.1 tahun 2025 ini terang benderang arahnya, dan bikin gelap gulita para koruptor atau mafia anggaran. Pantas saja mereka ngamuk.(AVW/FL)
Oleh :
*Andre Vincent Wenas*,MM,MBA., Pemerhati Masalah Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta. 20/02/2025