Diduga Banyak Oknum Perangkat Desa Langgar UU Nomor 6/2014 Tentang Desa

Oplus_131072

Indonesia investigasi

Banda Aceh – Diduga para oknum perangkat desa termasuk para oknum Kepala Desa (Kades) dalam wilayah Provinsi Aceh diduga langgar Undang-undang (UU) nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Dari segi pelaksanaan dan tata kelola pemerintahan desa, para oknum dimaksud berpotensi kangkangi aturan dasar bagi mereka selaku aparatur pemerintah ditingkat paling bawah sebagai pelayan publik dimana diikat oleh sumpah jabatannya.

Hal itu disampaikan pegiat Pemerhati Publik dan Pemerintahan, Sitti Afry Mahyeni, ST melalui rilisnya kepada media, terkait hasil analisis dan temuan lapangan tata kelola pemerintahan desa di Provinsi Aceh.

Bacaan Lainnya

“Oknum Kepala Desa disebut Datok Penghulu Kampung di Aceh Tamiang, Reje Kampung di wilayah Tanah Gayo, dan Keuchik diwilayah sebagian besar Aceh, beserta para oknum perangkat desa terkesan sangat banyak tabrak tugas dan tanggung jawab dasar mereka sebagai aparat pemerintah desa itu,” kata Sitti Afry Mahyeni, ST, Selesa (05/11/24).

Sambung Sitti Afry Mahyeni, akrab disapa Yeyen Clara, pasal dasar untuk perangkat desa pada UU nomor 06 tahun 2014 tentang Desa pada pasal 51 jelas diuraikan secara detil, dan spesifikasi lagi pada turunan UU tersebut agar lebih mengerucut dan spesifik, seperti pada peraturan menteri dalam negeri (Permendagri) hingga yang masih berlaku saat ini.

“Dugaan pelanggaran tersebut terkadang terkesan sangat dipengaruhi oleh dukungan dari oknum pejabat ditingkat kecamatan dan kabupaten masing-masing daerah, namun ada juga disinyalir memang sudah konsep perencanaan diintervensi tingkat desa itu sendiri,” jelas Yeyen Clara.

Ia menilai, dampak dari pelanggaran aturan dasar perangkat desa itu berpotensi lahirkan niat lakukan indikasi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dan jabatan mengarah pada berbuat tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bahkan dapat juga berpotensi berjamaah.

Praktik pelanggaran aturan seperti ini terkesan sering terabaikan dari pembinaan dan pengawasan oleh instansi pemerintah terkait dimana oknum para pihak pejabat dinilai terindikasi telah bersubhst dan miliki kepentingan dalam kelompok para oknum tersebut.

Tambah Yeyen Clara, menurut Pasal 51 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa “Perangkat Desa dilarang” :
a. merugikan kepentingan umum;
b. membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
c. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
e. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
g. menjadi pengurus partai politik;
h. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
i. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
j. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
k. melanggar sumpah/janji jabatan; dan
l. meninggalkan tugas selama 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

“Sampai kapankah hal ini dibiarkan, sementara program dari tujuan Nawacita Presiden Republik Indonesia, Djoko Widodo untuk memandirikan desa dinilai telah banyak berpotensi gagal akibat anggaran Dana Desa (DD) dikucurkan untuk memandirikan desa tidak terwujud akibat perangkat desa diduga langgar aturan dasar itu,” papar Yeyen Clara mengakhiri.

Jika diuraikan lebih luas lagi, tambah Sitti Afry Mahyeni, masih ada juga potensi pelanggaran tersebut terjadi sesuai diatur dalam Peraturan Menteri turunan dari UU tentang Desa tersebut diduga dilakukan mereka.

Beberapa perangkat desa dimintai pandangannya terkait hal tersebut oleh pihak media mengakui dan membenarkan hal itu terjadi tanpa mereka sadari dan secara sadar, alasannya semua itu dipengaruhi sistem yang harus mereka jalani dan laksanakan karena mereka adalah bawahan.

“Kami selaku bawahan serba salah, maju kena mundur kena oleh sistem dimana jika tidak dijalankan atau melawan dianggap tidak mentaati perintah atasan atau dinilai tidak bisa bekerjasama selanjutnya sebagai alasan diberhentikan, banyak perangkat jadi korban akibat hal itu,” ungkap mereka.

Demikian juga pengakuan dari beberapa Kepala Desa (Kades) melakukan pelanggaran pasal 51 UU Desa itu terkesan dibawah tekanan dari oknum para pihak terkait ditingkat kecamatan dan kabupaten dengan berbagai konsekuensi.

“Kami juga terkesan menjadi obyek kepentingan ditingkat atas dengan harus mengorbankan anggaran seharusnya dapat dianggarkan secara perioritas untuk kepentingan masyarakat desa kami,” keluh salah seorang Kades namanya minta dirahasiakan.*

Reporter : Edey Subhan

Pos terkait