Delapan Bulan Berlalu, Ismawati Masih Menanti Keadilan untuk Suaminya

 

Indonesiainvestigasi.com

 

SUBULUSSALAM – Delapan bulan sudah berlalu sejak tubuh Murdadi (30) ditemukan tak bernyawa di kebun sawit yang dijaganya di Kampong Panglima Sahman, Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalam.

Bacaan Lainnya

 

Hari itu, Kamis (13/2), menjadi hari paling kelam dalam hidup Ismawati — hari ketika ia menemukan sendiri suaminya dalam keadaan terikat, bersimbah darah, di bawah tumpukan pelepah sawit yang basah oleh embun dan air mata.

 

Di sekitar lokasi, motor sang suami terperosok ke parit, kandang kambing dan ayam terbakar, dan bercak darah memanjang di rerumputan. Pagi itu, Ismawati tak hanya menemukan jasad suaminya, tapi juga kehilangan separuh jiwanya.

 

“Sudah delapan bulan berlalu. Sidang demi sidang saya jalani dengan hati yang remuk. Dalam keadaan mengandung, tanpa suami di sisi, saya duduk di ruang sidang menahan air mata.

Setiap kali kisah itu dibuka kembali, setiap kali saya ditanya bagaimana suami saya dibunuh, rasanya luka itu disobek lagi. Saya tak kuat, tapi saya harus kuat.”

— Ismawati, istri almarhum Murdadi

 

Polisi telah menetapkan tiga tersangka: Mardoni, Roni, dan Junaidi — semuanya warga satu kampong. Mereka ditangkap empat hari setelah kejadian, di Asahan dan Pekanbaru.

Motifnya dendam lama dan iri hati. Mereka adalah orang-orang yang dulu mengenal Murdadi dengan baik, bahkan pernah duduk bersama dalam satu meja.

 

Namun bagi Ismawati, keadilan bukan sekadar penangkapan. Setiap kali sidang digelar, ia menatap wajah orang-orang yang telah merenggut kebahagiaannya, sembari bertanya dalam hati:

Apakah hukum akan benar-benar setimpal dengan kehilangan yang ia rasakan?

 

“Saya sedang hamil ketika suami saya dibunuh begitu tragis. Kami baru dua tahun lebih menikah.

 

Bulan September lalu saya melahirkan, tapi mungkin karena tekanan batin yang begitu berat, bukan hanya saya yang sakit — bayi saya juga lahir dalam keadaan lemah. Kami sudah berusaha sekuat tenaga, mengikuti rujukan medis ke Tapaktuan, bahkan ke Banda Aceh, tapi mungkin Allah lebih sayang padanya. Hanya beberapa malam saya bisa memeluknya… sebelum ia pun pergi menyusul ayahnya.” — Ismawati

 

Kini, rumah kecil yang dulu penuh tawa berubah menjadi ruang sunyi. Suaminya pergi untuk selamanya, tapi ingatan tentang malam tragedi itu tak pernah hilang.

 

“Hidup saya terasa hampa. Hari-hari begitu sunyi, hanya ditemani air mata. Kadang saya berpikir, ya Allah… sampai kapan ujian ini? Suami saya dibunuh dengan cara yang kejam, lalu bayi kami pun pergi. Saya tidak meminta balas dendam, hanya ingin keadilan ditegakkan. Tapi di lubuk hati saya, saya takut… takut kalau pelaku hanya dihukum ringan. Kalau itu terjadi, untuk apa semua air mata ini?” — Ismawati, dengan suara bergetar

 

Delapan bulan sudah berlalu, tapi luka itu belum mengering. Proses hukum terus berjalan, sementara hidup terasa berhenti. Setiap kali Ismawati melangkah ke ruang sidang, ia tidak hanya menyampaikan keterangan, tetapi juga memenda kenangan sembari berdoa agar vonis nanti tidak mengkhianati rasa kehilangan yang begitu dalam.

 

“Kalau mereka hanya dihukum ringan, bagaimana dengan kami yang kehilangan segalanya?

 

Suami saya tidak akan kembali, anak saya pun sudah pergi. Yang tersisa hanya kepercayaan saya pada Allah, dan harapan bahwa hakim-hakim itu masih punya nurani.”

 

Kini, satu-satunya kekuatan Ismawati hanyalah doa. Ia berdoa agar hukum di negeri ini masih punya hati, agar pelaku mendapat hukuman seberat-beratnya, dan agar tidak ada lagi istri yang harus menatap jasad suaminya di bawah tumpukan pelepah sawit.

 

“Saya hanya ingin keadilan untuk suami saya, Murdadi. Keadilan mungkin tak mampu menghidupkan kembali orang yang kita cintai, tapi tanpa keadilan, luka ini tak akan pernah sembuh.” — Ismawati

 

 

Jus

Pos terkait