Mencari Jiwa Pendidikan: Masihkah Kita Berjalan di Jejak Ki Hadjar Dewantara?

Disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,

Pemerhati/Pengamat,

 

Indonesiainvestigasi.com

Bacaan Lainnya

 

PENDIDIKAN di Indonesia bukanlah sekadar sistem yang diwariskan, tetapi sebuah perjalanan panjang yang dihidupkan dengan nilai dan perjuangan. Salah satu tokoh sentral dalam sejarah pendidikan kita adalah Ki Hadjar Dewantara, beliau tidak hanya menciptakan konsep pendidikan yang merdeka, tetapi juga memperjuangkannya dengan segenap jiwa dan raga. Namun, di era modern ini, kita harus bertanya dengan penuh kesadaran: masihkah pendidikan kita berjalan di jejak pemikiran dan idealisme beliau?

 

Ontologi Pendidikan: Dari Kebebasan Menuju Kapitalisasi?

 

Dalam perspektif ontologi, Ki Hadjar Dewantara memandang pendidikan sebagai proses ‘pembentukan manusia yang utuh, bukan sekadar pencetak tenaga kerja bagi kepentingan industri”. Ia percaya bahwa pendidikan harus membebaskan, memberikan akses kepada semua lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Dengan semangat itu, ia mendirikan Taman Siswa, menentang sistem kolonial yang hanya memberikan kesempatan kepada kaum elite.

 

Namun, sistem pendidikan saat ini kerap kali lebih menonjolkan “kapitalisasi dan komersialisasi”. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar justru berubah menjadi barang mewah bagi segelintir kalangan. Sekolah dan perguruan tinggi elit memasang harga tinggi yang membuat pendidikan berkualitas semakin sulit dijangkau oleh masyarakat bawah. Apakah ini masih mencerminkan semangat egalitarian yang diperjuangkan Ki Hadjar Dewantara?

 

Aksiologi yang Tergeser: Dari Pembentukan Karakter ke Standardisasi?

 

Dalam aksiologi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, nilai-nilai seperti “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” menjadi fondasi dalam membentuk sistem pendidikan yang mendukung pertumbuhan manusia secara moral dan intelektual.

 

Namun, kini kita menghadapi tantangan besar: pendidikan lebih banyak berorientasi pada angka daripada karakter. Ujian standar, peringkat sekolah, dan target akademik menjadi penentu utama dalam sistem pendidikan kita. Guru yang seharusnya menjadi pemimpin inspiratif sering kali terkekang dalam aturan birokrasi yang membuat mereka lebih sibuk dengan administrasi daripada pembelajaran yang bermakna. Apakah ini masih mencerminkan pendidikan yang membebaskan?

 

Kesenjangan dan Ketimpangan: Pendidikan yang Belum Merata

 

Salah satu misi Ki Hadjar Dewantara adalah pemerataan pendidikan. Ia memahami bahwa akses pendidikan yang setara adalah kunci bagi pembangunan bangsa. Namun, di era sekarang, ketimpangan fasilitas antara kota dan desa masih sangatlah mencolok.

 

Di kota-kota besar, sekolah-sekolah dilengkapi dengan teknologi modern, sementara di daerah terpencil masih ada anak-anak yang harus belajar dalam kondisi minim sarana. Jika pemerintah dan pemangku kebijakan tidak menjadi teladan dalam memastikan pendidikan yang merata, bagaimana mungkin nilai-nilai perjuangan Ki Hadjar Dewantara bisa terus hidup?

 

Refleksi: Haruskah Kita Mengoreksi Arah Pendidikan Kita?

 

Pendidikan Ki Hadjar Dewantara bukan hanya tentang “kurikulum”, tetapi tentang bagaimana membentuk manusia yang berkarakter, berbudi, dan merdeka. Jika sistem kita semakin menjauh dari filosofi tersebut, apakah kita masih bisa mengatakan bahwa pendidikan Indonesia berjalan sesuai dengan cita-cita beliau?

 

Pertanyaan ini bukan sekadar untuk direnungkan, tetapi untuk dijawab dengan tindakan. Jika pendidikan semakin terseret dalam arus pragmatisme tanpa nilai, maka sudah waktunya kita mengoreksi arah. Pendidikan harus lebih dari sekadar proses akademik, ia harus menjadi alat pembebasan, seperti yang telah diperjuangkan oleh Ki Hadjar Dewantara.

 

Kini, saatnya kita bertanya: apakah pendidikan kita masih berjiwa Ki Hadjar Dewantara, atau sudah terlalu jauh tersesat dalam modernisasi yang kehilangan makna?

 

 

Nurhalim

Pos terkait