Disusun oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I,
IndonesiaInvestigasi.com
OPINI yang ditukilkan ini berdasarkan diskusi hangat bersama beberapa mahasiswa dan alumni kampus yang dikenal sebagai jantoeng hate rakyat Aceh, menjelang penerimaan mahasiswa baru tahun ajaran 2025/2026. Dalam suasana reflektif dan penuh harap, kami membedah realitas pendidikan tinggi di Aceh, menggali keresahan, dan merumuskan harapan baru. Gagasan-gagasan yang muncul bukan sekadar kritik, tetapi ajakan untuk menata ulang arah belajar agar lebih bermakna dan membebaskan.
Aceh hari ini berada di persimpangan penting dalam dunia pendidikan. Di satu sisi, semangat belajar dan pembangunan lembaga pendidikan terus tumbuh. Di sisi lain, ada kegelisahan yang makin terasa: apakah ilmu yang dikejar benar-benar membentuk manusia yang utuh, atau justru melahirkan generasi yang terjebak dalam formalitas dan kebanggaan kosong? Pertanyaan ini bukan sekadar retoris, melainkan panggilan untuk refleksi mendalam.
Fenomena belajar yang berorientasi pada gelar, status sosial, dan pengakuan publik makin marak. Banyak pelajar dan pengajar yang menjadikan ilmu sebagai alat kompetisi, bukan sebagai jalan pengabdian. Di ruang-ruang kelas, hafalan menjadi ukuran kecerdasan, sementara pemahaman dan penghayatan sering kali terpinggirkan. Akibatnya, ilmu kehilangan ruhnya—ia menjadi beban, bukan cahaya.
Aceh memiliki warisan keilmuan dan spiritual yang kaya. Namun, dalam praktik pendidikan modern, nilai-nilai adab, keikhlasan, dan kebersihan hati sering kali tidak mendapat tempat utama. Pendidikan agama pun, meski melimpah, kadang terjebak dalam rutinitas dan simbolisme. Padahal, pendidikan seharusnya menyentuh jiwa, membentuk karakter, dan menghidupkan kesadaran akan tanggung jawab sosial dan spiritual.
Krisis makna dalam belajar ini berdampak luas. Banyak lulusan yang merasa hampa, tidak tahu arah, dan tidak mampu menjawab tantangan zaman. Mereka memiliki ijazah, tetapi kehilangan jati diri. Mereka tahu banyak, tetapi tidak mampu menjadi solusi. Ini bukan semata soal kurikulum, tetapi soal orientasi: untuk apa kita belajar, dan siapa yang kita harapkan dari proses itu?
Di tengah arus digitalisasi dan budaya instan, pendidikan di Aceh menghadapi tantangan baru. Informasi mudah diakses, tetapi kebijaksanaan sulit ditemukan. Banyak yang tahu, tetapi sedikit yang memahami. Banyak yang bicara, tetapi sedikit yang mendengar. Maka, pendidikan harus kembali kepada akar: membentuk manusia yang sadar, bukan sekadar pintar.
Reformasi pendidikan bukan hanya soal metode, tetapi soal niat dan arah. Belajar harus menjadi proses penyucian jiwa, bukan sekadar pengumpulan data. Guru harus menjadi pembimbing ruhani, bukan hanya penyampai materi. Murid harus menjadi pencari makna, bukan sekadar pengumpul nilai. Pendidikan harus menjadi jalan menuju kebebasan batin, bukan penjara ambisi.
Aceh memiliki potensi besar untuk menjadi model pendidikan yang bermakna. Dengan kekayaan tradisi Islam, budaya lokal, dan semangat komunitas, pendidikan bisa diarahkan untuk membentuk generasi yang berilmu sekaligus berakhlak. Namun, ini membutuhkan keberanian untuk menata ulang sistem, membongkar kebiasaan lama, dan membangun paradigma baru.
Belajar yang membebaskan adalah belajar yang menyentuh hati, membentuk akhlak, dan menghidupkan kesadaran. Ia tidak mengejar pujian, tetapi mencari kebenaran. Ia tidak membanggakan gelar, tetapi menumbuhkan hikmah. Di tengah arus formalisme, Aceh perlu kembali kepada esensi: bahwa ilmu adalah cahaya, bukan mahkota; bahwa belajar adalah ibadah, bukan kompetisi.
Nurhalim,