Penulis: Muhammad Ramadhanur Halim, S.H.I.,
Indonesiainvestigasi.com
DALAM lanskap hukum pidana Indonesia, kasus pembunuhan Arjuna Tamaraya di Masjid Agung Sibolga bukan sekadar tragedi personal, melainkan cerminan dari krisis moral dan kelemahan sistem perlindungan publik. Ketika ruang ibadah berubah menjadi arena kekerasan, pertanyaan mendasar muncul: bagaimana hukum dapat menjamin keadilan substantif tanpa terjebak pada formalitas prosedural atau sentimen emosional?
Secara normatif, pembunuhan yang dilakukan secara bersama-sama dan dengan kekerasan ekstrem dapat dikenakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, atau Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa, dengan ancaman hukuman maksimal berupa pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama waktu tertentu. Namun, dalam praktiknya, penegakan pasal ini sering kali bergantung pada kekuatan pembuktian dan akses terhadap bantuan hukum yang memadai.
Di sinilah konsep prodeo dan pro bono menjadi relevan. Prodeo merujuk pada bantuan hukum yang disediakan oleh negara, sedangkan pro bono adalah bantuan hukum sukarela dari advokat. Keduanya bertujuan menjamin hak atas pembelaan, namun dalam kasus kejahatan berat seperti ini, pertanyaannya bukan hanya sekadar apakah pelaku berhak atas pembelaan, tetapi bagaimana sistem hukum dapat tetap menjunjung tinggi keadilan tengah publik tanpa mengorbankan rasa aman.
Teori keadilan retributif, seperti yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, menekankan bahwa hukuman harus sebanding dengan kejahatan. Dalam konteks ini, hukuman mati bukanlah bentuk balas dendam, melainkan ekspresi dari keadilan moral yang menganggap nyawa korban sebagai nilai tertinggi yang telah dirampas secara keji. Kant menyatakan bahwa “jika seseorang membunuh, maka ia harus mati,” bukan karena kita membenci pelaku, tetapi karena kita menghormati hukum.
Namun, teori utilitarian seperti yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill mengajukan pendekatan berbeda: hukuman harus memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. Dalam kasus Sibolga, hukuman berat terhadap pelaku dapat berfungsi sebagai deterrent atau efek jera, mencegah kekerasan serupa di masa depan dan memulihkan kepercayaan publik terhadap ruang ibadah sebagai tempat aman.
Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa, hukuman mati masih bersifat konstitusional selama dijatuhkan secara selektif dan proporsional. Dalam kasus ini, jika unsur pembunuhan berencana dan kekejian jelas terbukti, maka hukuman mati dapat dipertimbangkan sebagai bentuk keadilan yang tidak melampaui batas hukum.
Namun, pendekatan ini harus dibarengi dengan analisis sosiologis. Teori hukum dari Roscoe Pound menekankan bahwa hukum harus responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Ketika masyarakat Aceh dan Sumatera Utara menuntut hukuman maksimal, bukan berarti mereka mengedepankan emosi, tetapi menunjukkan bahwa hukum harus mencerminkan nilai-nilai lokal tentang kehormatan, perlindungan terhadap musafir dan kesucian tempat ibadah.
Dalam praktik pro bono, advokat yang membela pelaku tetap memiliki tanggung jawab etis untuk memastikan proses hukum berjalan adil, tanpa mengaburkan fakta atau menjustifikasi kekerasan. Di sisi lain, advokat korban atau pendamping hukum masyarakat dapat menggunakan pendekatan strategic litigation untuk mendorong reformasi sistemik, termasuk perlindungan ruang publik dan penguatan hukum pidana terhadap kekerasan kolektif.
Teori restorative justice, yang menekankan pemulihan hubungan dan rekonsiliasi, mungkin tidak relevan dalam kasus ini karena tingkat kekejian dan hilangnya nyawa. Namun, prinsip-prinsipnya tetap penting untuk mendampingi keluarga korban, memulihkan trauma komunitas, dan mencegah stigmatisasi terhadap kelompok tertentu.
Dalam konteks prodeo, negara harus memastikan bahwa pelaku tidak menggunakan keterbatasan ekonomi sebagai alasan untuk menghindari hukuman. Bantuan hukum harus diberikan untuk menjamin proses yang adil, bukan untuk meringankan hukuman secara otomatis. Di sisi lain, masyarakat harus diberi ruang untuk berpartisipasi dalam pengawasan proses hukum, agar keadilan tidak hanya menjadi milik pengadilan, tetapi juga milik publik.
Penting untuk diingat bahwa keadilan bukan sekadar vonis, tetapi proses yang menjunjung hak semua pihak. Dalam kasus Sibolga, keadilan berarti mengakui penderitaan korban, menegakkan hukum secara tegas, dan memastikan bahwa pelaku tidak mendapat perlakuan istimewa karena celah prosedural.
Teori hukum kritis, seperti yang dikembangkan oleh Duncan Kennedy dan Roberto Unger, mengajak kita untuk melihat bahwa hukum sering kali mencerminkan kekuasaan. Maka, dalam kasus ini, penting untuk memastikan bahwa hukum tidak tunduk pada tekanan politik, ekonomi, atau institusional, melainkan berdiri tegak atas dasar moral publik dan konstitusi.
Secara perspektif hukum Islam pendekatan maqashid syari’ah, yang menempatkan perlindungan lima prinsip dasar kehidupan manusia sebagai tujuan utama hukum: menjaga agama (ḥifẓ al-dīn), jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal (ḥifẓ al-ʿaql), keturunan (ḥifẓ al-nasl) dan harta (ḥifẓ al-māl). Dalam kasus pembunuhan Sibolga, adanya pelanggaran terhadap ḥifẓ al-nafs sudah sangat jelas dugaannya: nyawa dirampas secara brutal di tempat yang seharusnya menjadi simbol ḥifẓ al-dīn telah tercoreng dengan terjadinya perbuatan melanggar hukum sebagaimana terekam dalam CCTV. Maka, hukuman yang tegas dan proporsional bukan hanya sah secara konstitusional, tetapi juga sejalan dengan maqashid syari’ah sebagai bentuk perlindungan terhadap kehidupan dan ketertiban umum.
Dengan demikian, pendekatan hukum pidana dalam kasus ini tidak hanya perlu berpijak pada teori Barat dan konstitusi nasional, tetapi juga dapat diperkaya dengan nilai-nilai syari’ah yang menempatkan keadilan sebagai penjaga kemaslahatan umat. Prodeo dan pro bono tetap penting sebagai jaminan proses hukum yang adil, namun keadilan substantif harus tetap menjadi tujuan utama, baik dalam perspektif negara maupun dalam kerangka maqashid syari’ah.
Dalam sistem hukum Indonesia, jaksa memiliki kewenangan untuk menuntut hukuman maksimal jika terdapat bukti kuat tentang adanya niat jahat dari para pelaku, kekerasan ekstrem dan dampak sosial yang meluas menjadi konsumsi publik. Oleh karena itu, tuntutan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan Arjuna Tamaraya bukanlah bentuk emosi, tetapi ekspresi dari prinsip “ultimum remedium” yang menjelaskan bahwa, hukuman paling berat hanya dapat dijatuhkan ketika semua syarat telah terpenuhi.
Sebagai penutup, kasus ini harus menjadi momentum untuk mereformasi pendekatan hukum pidana terhadap kekerasan kolektif, memperkuat sistem bantuan hukum yang adil dan mengedepankan keadilan substantif di atas proseduralisme. Prodeo dan pro bono bukanlah penghalang tertegaknya keadilan, tetapi menjadi jembatan menuju proses hukum yang lebih transparan, akuntabel dan bermartabat.
M12H
