Kado Pahit di Ulang Tahun Republik: Ketika Rakyat Bicara, Pemerintah Harus Mendengar

 

Disusun oleh; M. Hafizul Furqan / Akademisi

 

Indonesiainvestigasi.com

Bacaan Lainnya

DI PENGHUJUNG Agustus 2025, Indonesia tidak hanya merayakan ulang tahun ke-80 kemerdekaannya, tetapi juga menerima sebuah “kado pahit” berupa gelombang demonstrasi besar-besaran yang melanda hampir seluruh kota di negeri ini. Demo yang awalnya digerakkan oleh keresahan sosial berubah menjadi ledakan kemarahan kolektif, berujung pada tindakan anarkis, kerusakan fasilitas publik, dan yang paling menyayat: hilangnya nyawa warga sipil. Di antara korban, nama Muhammad Affan menjadi simbol luka bangsa. Seorang pemuda 21 tahun, pengemudi ojek online, tewas dilindas mobil taktis milik Brimob—kendaraan yang ironisnya dibeli dari pajak yang ia bayarkan sendiri, receh demi receh, dari setiap transaksi harian.

 

Kerugian materiil dari demonstrasi ini diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Kantor DPRD, markas kepolisian, cagar budaya, hingga halte-halte yang dibangun dari pajak rakyat menjadi sasaran amukan massa. Namun kerugian moril jauh lebih dalam: kepercayaan publik terhadap wakil rakyat runtuh, legitimasi politik dipertanyakan, dan partai-partai politik dipaksa memberikan klarifikasi atas sikap dan kebijakan mereka. Rakyat merasa ditinggalkan, dan kemarahan mereka bukanlah tanpa sebab.

 

Jika kita tarik benang waktu ke belakang, akar dari kemarahan ini tumbuh dari tekanan pajak yang semakin mencekik. Pemerintah, melalui berbagai kebijakan fiskal, terus mencari cara untuk menutup defisit anggaran dengan membebankan rakyat kecil. Pajak bumi dan bangunan, pajak air tanah, pajak toko online, pajak restoran, bahkan pajak atas pemutaran musik sempat diajukan. Di sisi lain, tunjangan pejabat justru meningkat. Kunjungan kerja ke luar negeri yang terkesan seperti liburan, lambannya pembahasan RUU Perampasan Aset, dan minimnya empati terhadap kondisi rakyat membuat jurang ketidakpercayaan semakin dalam.

 

Yang lebih menyakitkan adalah cara para pejabat merespons keresahan rakyat. Alih-alih menunjukkan empati, mereka justru tampil dengan arogansi. Pernyataan seperti “Saya tak gentar, aturan tidak akan diubah” atau “Orang paling tolol yang ingin membubarkan DPR” menjadi bahan bakar kemarahan publik. Di tengah penderitaan rakyat, mereka berjoget dan bernyanyi, seolah tak ada yang sedang terbakar di luar pagar kekuasaan.

 

Semua ini bukan sekadar rangkaian peristiwa, melainkan gejala dari apa yang disebut sebagai collective outrage—kemarahan kolektif yang lahir dari ketidakadilan moral. James Jasper menyebut bahwa emosi, terutama marah, adalah motor gerakan sosial. Ketika rakyat merasa diperlakukan tidak adil, mereka bergerak, dari pasif menjadi aktif, dari diam menjadi lantang. Dan itulah yang terjadi: rakyat turun ke jalan bukan karena ingin merusak, tetapi karena ingin didengar.

 

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian… Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian…” Maka, di usia ke-80 tahun Republik ini, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah pemimpin kita masih dicintai rakyatnya? Ataukah kita telah sampai pada titik saling membenci?

 

Demo ini bukan akhir, melainkan panggilan untuk refleksi. Pemerintah harus berhenti melihat rakyat sebagai beban anggaran, dan mulai melihat mereka sebagai pemilik sah negeri ini. Karena jika suara rakyat terus diabaikan, maka sejarah akan mencatat bahwa ulang tahun ke-80 bukanlah perayaan, melainkan peringatan akan kegagalan kita menjaga amanah kemerdekaan.

 

Nurhalim

Pos terkait