Semarang, Jawa Tengah – Pemerintah desa atau kelurahan di Kota Semarang, Jawa Tengah, dilarang melakukan pungutan pologoro karena termasuk pungutan liar, demikian disampaikan oleh Mashudi SH yang biasa dipanggil Dimas, serta Sarif S.H.I lulusan Universitas Unisula Sultan Agung Semarang. “Yang namanya Pungli pologoro itu tidak dibenarkan dan harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku,” jelasnya. (17/4/24).
Ahli waris Suwito (Alm) Rifai cs (40), warga Cebolok Kota Semarang, mendesak Kejaksaan Negeri Semarang untuk segera menangani kasus pungli yang dilakukan oleh mantan lurah Sawah Besar, Jaka, pada tahun 2021. Saat itu, dia dan keluarganya menjual tanah warisan orang tuanya sekitar 1.5 hektar kepada sahri orang Pati, Jawa Tengah, yang tinggal di Surabaya.
“Saat itu, Lurah Sawah Besar, Jaka, meminta pologoro sebesar Rp 200.000.000, namun hanya diberikan Rp 160.000.000,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Dimas menambahkan bahwa zaman dulu pologoro sudah diatur, tetapi seiring dengan perubahan tata kelola pemerintahan yang baik atau “good governance”, tidak ada pungutan tersebut lagi karena tidak ada dasar peraturan hukumnya.
“Semua itu (larangan memungut pologoro) karena Undang-Undang Desa sudah diubah,” katanya.
Dimas juga menjelaskan bahwa pada dasarnya pologoro dipungut berdasarkan kebiasaan yang kemudian menjadi pembiasaan dan berubah menjadi adat sehingga hal ini sangat lemah aturan hukumnya.
Ia juga mengajak para pejabat dari desa maupun kota untuk cerdas dalam memahami undang-undang.
“Mari kita belajar dari berbagai daerah lain agar operasi tangkap tangan tidak terjadi di wilayah kita (Jawa Tengah). Caranya adalah dengan bekerja profesional, memahami aturan hukum, menjunjung tinggi kejujuran, dan ikhlas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat,” pungkasnya.
(Arief/Red)