Indonesia Investigasi
LAMPUNG – Di Yogyakarta, pada tanggal 8 November 1957, lahirlah seorang anak lelaki yang kelak akan dikenal dengan nama Alzier Dianis Thabranie. Seperti fajar yang menyingsing dari ufuk timur, ia tumbuh dalam keluarga yang sarat dengan denyut politik dan pemerintahan.
Sementara saudaranya, Prof. DR. Sapta Nirwandar, S.E kelak menempati kursi Wakil Menteri Pariwisata Indonesia. Sebelumnya Sapta dikenal sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan, dan pernah menduduki jabatan Dirjen Pemasaran Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Dari rumah yang penuh percakapan tentang kekuasaan dan tanggung jawab, Alzier belajar bahwa politik bukan sekadar panggung, melainkan jalan panjang penuh liku.
Sejak masa kuliah di Universitas Timbul Nusantara, ia sudah menampakkan diri sebagai sosok yang vokal dan Kontroversial.
Kata-katanya tajam, keberaniannya menyalakan bara. Ia bukan sekadar mahasiswa, melainkan api kecil yang menyala di tengah arus besar.
Setelah lulus, ia memilih jalan yang sama dengan ayahnya, terjun ke dunia organisasi dan politik.
Awalnya Alzier merupakan Wakil Bendahara Partai Golkar Lampung, setelahnya ia berlabuh di PDI Perjuangan, namun Alzier tetaplah Alzier, tetap menjadi sosok kontroversial yang selalu memiliki visi besar yang tidak bisa dibendung oleh kekuatan apapun.
Gelombang dinamika membuatnya meninggalkan PDI Perjuangan karena tidak sejalan dengan Presiden Megawati Soekarnoputri Putri yang merupakan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan kala itu.
Alzier memutuskan untuk kembali masuk ke Partai Golkar Lampung.
Dari sana, ia menanjak, menjadi Ketua DPD Golkar Lampung, dan menjelma menjadi arsitek kejayaan partai di tanah Sai Bumi Ruwa Jurai.
Di bawah kepemimpinannya, Golkar Lampung meraih masa keemasan:
*Pemilu 1999: 13 kursi DPRD Lampung.
*Pemilu 2004: puncak kejayaan, 16 kursi, bahkan menempatkan kader sebagai Ketua DPRD. Bahkan Alzier Dianis Thabrani menjadi satu-satunya sosok di Lampung yang memimpin partai Golkar selama 3 periode. Tentu karena kepiawaiannya dalam memimpin partai sulit digantikan.
Namun, seperti matahari yang perlahan meredup, setelah masa kepemimpinannya, suara Golkar menurun.
Sejarah pun mencatat pengaruh Alzier adalah mercusuar yang pernah menerangi politik Lampung.
Impian terbesar Alzier adalah menjadi Gubernur Lampung. Berkali-kali ia mencoba menapaki jalan itu: 2002, 2008, 2014, hingga 2018. Namun langkahnya selalu terhenti di gerbang pusat. Jakarta, dengan segala intrik dan kepentingan, kerap menjegalnya. Basis massa yang kuat di Lampung tak cukup untuk menembus tembok elite partai.
Maka, ia pun dikenal sebagai tokoh yang selalu melawan arus, Sang Putra Fajar yang sinarnya kerap ditutup awan politik.
Alzier adalah sosok keras, vokal, kharismatik. Ia berani menyuarakan pandangan, meski kadang menimbulkan resistensi. Ia bukan politisi yang sekadar mengikuti arus, melainkan batu karang yang menantang ombak.
Di luar politik, ia tetap hadir di tengah masyarakat. Ia menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihat Kadin Lampung dan juga didaulat menjadi Dewan Kehormatan KONI Lampung. Membuktikan bahwa perjuangan tak hanya di panggung kekuasaan, tetapi juga di ruang publik yang lebih luas.
Warisan politiknya tak bisa dihapus:
Ia adalah arsitek kejayaan Golkar Lampung pascareformasi.
– Ia membuktikan bahwa tokoh lokal mampu membangun basis politik yang kokoh.
– Meski tak pernah duduk di kursi gubernur, pengaruhnya tetap besar. Sejarah bahkan mencatat bahwa pada periode 2003–2008, ia adalah gubernur terpilih yang kemenangannya disabotase oleh tangan-tangan besar, saat itu ia mengalahkan Gubernur Oemarsono dan Komjen Pol Pur. Sjahroeddin ZA Pagar Alam
– Ia konsisten berjuang lebih dari dua dekade, menjadikan politik sebagai jalan hidup.
Lampung harus berbangga memiliki putra seperti Alzier, seorang yang berintegritas, mapan, mumpuni. Ia adalah cermin bagi calon pemimpin masa depan, teladan bahwa keberanian melawan arus adalah bagian dari perjuangan.
Tidak lupa, Alzier merupakan tokoh Pendiri Kabupaten Pesawaran yang berhasil memekarkan diri dari Lampung Selatan 2007 yang lalu. Kala itu Alzier menggalang kekuatan agar Pesawaran bisa berdiri sendiri, Ia didaulat menjadi Ketua Umum Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Pesawaran.
Dan seperti fajar yang selalu kembali setiap pagi, nama Alzier akan terus dikenang. Bukan karena kursi yang pernah didudukinya, melainkan karena keberanian yang ia wariskan: keberanian untuk bersuara, keberanian untuk melawan, keberanian untuk tetap berdiri tegak meski badai politik berulang kali mencoba meruntuhkannya.
Hendrik
