Indonesia Investigasi
Revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) menjadi sorotan publik yang tajam. Sebagai perusahaan negara yang idealnya berorientasi pada kemakmuran rakyat, BUMN memiliki tanggung jawab besar untuk mengelola aset negara secara transparan, akuntabel, dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Namun, revisi pada beberapa pasal penting memicu kekhawatiran bahwa arah BUMN bisa saja bergeser dari tujuan mulianya, menuju kepentingan pihak tertentu.
Salah satu pasal yang menjadi polemik adalah “Pasal 3”: menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan di BUMN bukan lagi bagian dari keuangan negara. Perubahan ini secara fundamental mengubah sifat pengelolaan aset negara dalam BUMN, karena sebelumnya BUMN berada di bawah pengawasan ketat terkait keuangan negara. Banyak pihak khawatir langkah ini bisa menciptakan celah bagi penyalahgunaan aset publik tanpa pengawasan yang memadai.
Kontroversi lain mencuat di “Pasal 9F”, di mana tanggung jawab hukum atas kerugian investasi dihapuskan untuk direksi dan komisaris BUMN, selama langkah mereka dilakukan dengan itikad baik dan sesuai aturan. Meski bertujuan untuk mendorong keberanian pengambilan keputusan strategis, kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang akan bertanggung jawab atas kesalahan besar yang berpotensi merugikan perusahaan dan, pada akhirnya, masyarakat.
Selain itu, terdapat pasal yang secara eksplisit menyatakan bahwa direksi dan komisaris BUMN bukanlah penyelenggara negara. Dampaknya adalah berkurangnya cakupan pengawasan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sebelumnya memiliki wewenang untuk mengusut dugaan korupsi di tubuh BUMN. Keputusan ini, meskipun mungkin memberikan ruang gerak lebih besar bagi BUMN, juga mengundang kritik atas potensi melemahnya akuntabilitas.
Secara filosofi, BUMN didirikan bukan hanya untuk menghasilkan keuntungan, tetapi juga sebagai instrumen negara untuk mendukung kesejahteraan rakyat. Maka, ketika revisi UU tampak lebih memihak kepentingan manajemen daripada masyarakat, wajar jika hal ini menjadi kontroversial. Pertanyaan yang muncul: apakah revisi ini benar-benar akan meningkatkan kinerja BUMN, atau justru membuka celah bagi kepentingan pribadi sejumlah pejabat?
Namun, perlu diakui bahwa revisi ini juga memiliki potensi positif. Dengan memberikan lebih banyak kebebasan kepada manajemen, BUMN diharapkan dapat bersaing lebih agresif di pasar global tanpa terlalu terbebani aturan birokrasi. Ide dasarnya adalah menciptakan lingkungan yang lebih fleksibel untuk pengambilan keputusan strategis, sesuatu yang sering kali menjadi kendala besar dalam birokrasi.
Meski demikian, kepercayaan publik menjadi elemen kunci dalam keberhasilan implementasi revisi ini. Tanpa pengawasan yang jelas dan independen, kekhawatiran bahwa BUMN hanya akan menjadi alat kepentingan elit politik tetap akan mengemuka. Transparansi dan akuntabilitas harus tetap menjadi pilar utama dalam setiap perubahan regulasi.
Dalam konteks ini, masyarakat tidak hanya berhak tetapi juga wajib mengawal proses revisi UU ini. Kritik dan masukan dari berbagai kalangan harus menjadi bahan evaluasi yang serius bagi pembuat kebijakan, agar revisi ini tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi benar-benar membawa dampak positif bagi kesejahteraan bangsa.
Akhirnya, revisi UU BUMN adalah pengingat bahwa setiap kebijakan negara harus selalu berlandaskan prinsip keadilan dan keberlanjutan. Jalan menuju BUMN yang lebih kompetitif dan inovatif memang penting, tetapi hal itu tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan amanah publik. Karena pada akhirnya, keberadaan BUMN adalah untuk kepentingan rakyat, bukan elite.
Zahrul