Polres Lhokseumawe Dorong Peran Pemangku Adat dalam Penyelesaian 18 Kasus Tipiring

Indonesia Investigasi

LHOKSEUMAWE – Penegakan Pasal 14 dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008, yang mengatur tata cara penyelesaian sengketa adat sangat penting. dalam qanun tersebut ada 18 kasus tindak pidana ringan (Tepiring) yang seharusnya dapat diselesaikan melalui peradilan adat di Gampong, tanpa perlu diproses ke kantor polisi.

Kepada awak media, senin (12/8/2024) pagi, Kapolres Lhokseumawe AKBP Henki Ismanto, S.I.K melalui Kasikum Polres Lhokseumawe, AKP J. Situmorang, SH mengatakan, pada pasal 13 ayat 3 penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa / perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat digampong dengan melibatkan pemangku adat Geucik,umum meunasah,tuha Peut,sekretaris Gampong ,ulama,cendikiawan dan tokoh adat lainnya.
Jika digampong tidak selesai maka diselesaikan tingkat mukim dengan pemangku adat antara lain imum mukim ,imum cik, tuha Peut,sekretaris mukim,ulama ,cendikiawan dan toko adat lainnya.

Namun, sebut AKP J. Situmorang, jika perselisihan di laot maka diselesaikan oleh panglima laot, wakil panglima laot , 3 orang staf panglima laot dan sekretaris panglima laot, Jika perselisihan antara dua atau lebih panglima laot maka penyelesaian secara adat laot kota atau kabupaten

Bacaan Lainnya

Lanjutnya, kemudian bila perkara tidak adanya solusi ditingkat gampong /mukim, panglima laot,kota dan kabupaten maka yang merasa korban meminta surat keterangan kepada geucik sebagai dasar laporan kepada polri agar permasalahan tersebut ditindaklanjuti sampai ada kepastian hukum

Kasus-kasus tipiring, jelas AKP J. Situmorang,
diharapkan bisa diselesaikan di tingkat Gampong tanpa harus ke ranah hukum. Tapi, bila tidak ada solusi salah satu pihak merasa keberataan karena tidak mendapatkan keadilan, maka kasus itu bisa saja mengarah ke proses hukum. Tapi, itu tidak diharapkan.

“Masih banyak perkara kecil yang mestinya dapat diselesaikan oleh Pemangku Adat, namun malah dibawa ke pihak kepolisian tegas J.situmorang. Ia menambahkan bahwa pemangku adat agar lebih memahami kewenangan sesuai dengan qanun no 9 Tahun 2008 pasal 14 untuk penguatan peran pemangku adat untuk menangani permasalahan sehingga keharmonisan di tengah masyarakat tetap terjaga.

Adapun 18 kasus yang dapat diselesaikan melalui peradilan adat di Gampong antara lain perselisihan dalam rumah tangga, sengketa antara keluarga terkait faraidh, perselisihan antar warga, hingga pencurian ringan dan pelanggaran adat terkait ternak, pertanian, dan hutan.

Kapolres berharap, sebut J Situmorang dengan penegakan hukum adat ini, perselisihan dapat diselesaikan dengan cara yang lebih bermartabat dan adil, sesuai nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku di daerah Aceh.

“Sebagai aparat penegak hukum, kami mendukung penuh pelaksanaan hukum adat yang telah menjadi bagian integral dari identitas masyarakat Aceh,” ujar J situmorang. Pendekatan ini, menurutnya, akan memperkuat rasa keadilan dan harmoni di Daerah Aceh khususnya kota Lhokseumawe, serta membangun hubungan yang lebih erat antara pemangku adat dan pihak kepolisian.

18 perkara di tingkat Gampong yang bisa diselesaikan dengan hukum adat, yaitu:

1.Perselisihan dalam rumah tangga.
2. Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh.
3. Perselisihan antar warga.
4. Khalwat (mesum);
5. Perselisihan tentang hak milik.
6. Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan).
7. Perselisihan harta sehareukat.
8. Pencurian ringan.
9. Pencurian ternak peliharaan
10. Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
11. Persengketaan di laut
12. Persengketaan di pasar
13. Penganiayaan ringan
14. Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat)
15. Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik.
16. Pencemaran lingkungan (skala ringan)
17. Ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman)
18. Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat istiadat.(*)

Pos terkait