Pemakzulan Gibran: Antara Realitas Politik dan Imajinasi Demokrasi

Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Raka Buming Raka. foto/istimewa.

Indonesia Investigasi 

 

Disusun Oleh: Muhammad Ramadhanur Halim, S.HI,

Sebagai: Pemerhati/Pengamat,

Bacaan Lainnya

Diskusi hangat di program “Satu Meja The Forum” Kompas TV baru-baru ini memunculkan perdebatan sengit mengenai usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dalam suasana yang penuh argumen tajam, para pengamat politik, akademisi, dan tokoh masyarakat mencoba membedah isu ini dari berbagai sudut pandang. Salah satu poin utama yang mencuat adalah apakah gagasan ini realistis atau sekadar utopia dalam konteks politik Indonesia?.

 

Realitas Hukum dan Politik yang Kompleks

Pemakzulan seorang wakil presiden di Indonesia bukanlah perkara sederhana. Proses ini diatur secara ketat dalam konstitusi, membutuhkan bukti pelanggaran hukum berat dan persetujuan dari berbagai lembaga negara, termasuk DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR. Dengan dukungan politik yang kuat di parlemen diangka 81% kekuatan politik yang mendukung pasangan Prabowo-Gibran, sepertinya usulan ini tampak hampir mustahil untuk diwujudkan. Secara hukum, belum ada indikasi pelanggaran serius yang dilakukan oleh Gibran selama masa jabatannya. Hal ini membuat argumen pemakzulan kehilangan pijakan yang kokoh.

 

Narasi Utopis dalam Demokrasi

Namun, di sisi lain, gagasan pemakzulan ini mencerminkan utopia demokrasi, sebuah harapan ideal bahwa setiap pejabat publik dapat dimintai pertanggungjawaban tanpa terkecuali. Para purnawirawan yang mengusulkan pemakzulan ini mungkin tidak sepenuhnya berharap gagasan mereka akan terwujud, tetapi lebih sebagai “simbol protes” terhadap apa yang mereka anggap sebagai ketidaksempurnaan sistem politik saat ini. Dalam demokrasi, aspirasi seperti ini adalah bagian dari kebebasan berekspresi, meskipun sering kali berbenturan dengan realitas politik yang begitu keras.

 

Dinamika Politik Menuju 2029

Diskusi ini juga tidak bisa dilepaskan dari konteks Pilpres 2029 nantinya. Dengan penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), lanskap politik Indonesia sedang mengalami pergeseran besar. Posisi Gibran sebagai wakil presiden kini berada dalam tekanan politik yang signifikan yang dapat memengaruhi peluangnya untuk maju dalam kontestasi politik mendatang. Dalam skenario ini, usulan pemakzulan bisa dilihat sebagai upaya untuk membatasi ruang geraknya di masa yang akan datang.

 

Kesimpulan: Antara Harapan dan Kenyataan

Pemakzulan Gibran, meskipun menarik sebagai wacana, tetapi lebih menyerupai narasi utopis daripada skenario yang realistis. Proses hukum yang ketat, dukungan politik yang kuat, dan kurangnya bukti pelanggaran serius membuat gagasan ini sulit untuk diwujudkan. Namun, perdebatan ini tetap penting sebagai cerminan dinamika demokrasi di Indonesia, di mana aspirasi dan kritik terhadap pemimpin adalah bagian dari proses yang sehat. Dalam konteks ini, utopia demokrasi bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan dijadikan inspirasi untuk terus memperbaiki sistem politik yang ada di Indonesia.

 

 

 

Nurhalim

Pos terkait