Efisiensi Anggaran: Solusi Meminimalkan Mark-Up Anggaran Atau Menambah Masalah?

(Opini: Muhammad Fawazul Alwi, Ketua PD Gerakan Pemuda Al-Washliyah Aceh Barat)

Indonesia Investigasi

Politik – Efisiensi anggaran telah menjadi topik hangat di Indonesia, terutama setelah Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan mengalokasikan dana secara lebih efektif. Namun, di balik tujuan mulia ini, muncul berbagai pertanyaan dan kekhawatiran mengenai implementasi dan dampaknya terhadap perekonomian serta masyarakat luas, termasuk di Aceh.

Dalam beberapa tahun terakhir, praktik mark-up anggaran menjadi salah satu masalah besar dalam pengelolaan keuangan negara. Mark-up anggaran adalah praktik di mana harga barang atau jasa yang dibeli pemerintah dinaikkan melebihi harga pasar demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Praktik ini menyebabkan inefisiensi penggunaan dana publik dan menghambat pembangunan yang optimal. Dengan kebijakan efisiensi anggaran yang baru, pemerintah berharap dapat mengeliminasi praktik ini dan memastikan setiap rupiah digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Bacaan Lainnya

Di Aceh, efisiensi anggaran menjadi isu krusial mengingat daerah ini mendapatkan alokasi dana otonomi khusus (Otsus) yang signifikan. Namun, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 29 Tahun 2025, terjadi pemangkasan dana transfer daerah untuk Aceh sebesar Rp317 miliar. Dana Otsus yang semula ditetapkan dalam APBN sebesar Rp4,466 triliun, kini berkurang menjadi Rp4,309 triliun, mengalami pengurangan sebesar Rp156 miliar. Selain itu, Dana Alokasi Umum (DAU) Aceh juga mengalami penurunan dari Rp2,264 triliun menjadi Rp2,208 triliun, berkurang sekitar Rp56 miliar. Pemangkasan ini menimbulkan kekhawatiran terkait efektivitas dan transparansi dalam pengelolaan dana, serta dampaknya terhadap program pembangunan di Aceh.

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, merespons kebijakan efisiensi anggaran ini dengan menekankan perlunya pengelolaan keuangan yang lebih transparan dan akuntabel. Dalam beberapa kesempatan, beliau menyatakan bahwa Aceh harus mampu menyesuaikan diri dengan kebijakan nasional tanpa mengorbankan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu gebrakan yang diambil adalah menginstruksikan evaluasi menyeluruh terhadap proyek-proyek yang sedang berjalan guna memastikan anggaran digunakan secara optimal. Selain itu, Gubernur Muzakir Manaf juga menegaskan akan mengutamakan sektor-sektor yang memiliki dampak langsung terhadap ekonomi rakyat, seperti infrastruktur, pendidikan, dan pertanian.

Efisiensi anggaran tidak hanya berarti pemangkasan anggaran secara drastis, tetapi juga memastikan setiap alokasi dana memberikan manfaat yang maksimal. Salah satu contoh nyata implementasi kebijakan ini adalah pemangkasan anggaran perjalanan dinas sebesar 50 persen. Selain itu, pemerintah juga mulai mengarahkan dana ke sektor-sektor yang lebih produktif, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara langsung.

Namun, implementasi efisiensi anggaran juga memiliki tantangan tersendiri. Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini dapat berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor tenaga honorer serta pengurangan program-program sosial. Pemerintah telah menegaskan bahwa efisiensi anggaran tidak akan berujung pada PHK massal tenaga honorer, melainkan akan difokuskan pada pengoptimalan sumber daya dan peningkatan efektivitas kerja. Di Aceh, kekhawatiran ini juga muncul mengingat banyaknya tenaga kerja yang bergantung pada proyek-proyek pemerintah.

Dampak langsung terhadap pasar dan politik ekonomi Aceh juga perlu menjadi perhatian. Dari sisi pasar, pengurangan belanja pemerintah dapat menyebabkan lesunya sektor jasa dan perdagangan, terutama bagi usaha kecil yang menggantungkan permintaan dari proyek-proyek daerah. Daya beli masyarakat juga berpotensi menurun karena pengetatan anggaran yang dapat berujung pada terbatasnya lapangan pekerjaan baru.

Secara politik ekonomi, kebijakan efisiensi anggaran dapat memunculkan ketidakpuasan dari kelompok tertentu yang merasa kehilangan akses terhadap dana pemerintah. Tekanan terhadap pemerintah daerah untuk lebih transparan dalam alokasi anggaran pun semakin meningkat. Jika tidak diimbangi dengan kebijakan kompensasi yang jelas, misalnya melalui insentif investasi swasta atau skema kemitraan publik-swasta (PPP), maka kebijakan ini bisa memicu ketidakstabilan ekonomi lokal.

Keberhasilan kebijakan efisiensi anggaran sangat bergantung pada dukungan semua pihak, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil berdasarkan kajian yang matang dan mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam mengawasi implementasi kebijakan ini juga sangat penting agar tidak terjadi penyimpangan.

Pos terkait